Senin, 27 Juli 2015

Kesaksian FLC Tanggaba











In/Di sebuah  kampung yang diberi nama Merdeka dan terletak di salah satu desa terpencil di Sumba Timur lahirlah Soleman Kabubu Ratu  Anding  yang biasa dipanggil  Soni. Meskipun desa Merdeka termasuk salah satu desa terpencil di Sumba Timur namun, namun  di sana ada deretan bukit dan lembah yang begitu indah. Apa lagi di musim hujan, pemandangannya semakin indah hingga membuat setiap orang yang lewat terpesona dan tertegun menyaksikan keindahan alamnya.

Soni tinggal dengan kedua orang tua kandungnya. Ayah Soni bekerja sebagai petani sedangkan ibunya sebagai Ibu rumah tangga. Di samping itu ia juga sering membantu ayah Soni bekerja di kebun. Seiring dengan perkembangan tubuh Soni juga sudah mulai besar,  dia juga membantu orang tuanya membersihkan kebun. Makanan pokok keluarga Soni adalah jagung.

Cita-cita Soni adalah menjadi seorang polisi saat besar nanti. Sehingga untuk mewujutkan cita-citanya maka dia mulai menuntut ilmu. Sekarang Soni berada di kelas Dua  SD. Meskipun jarak dari rumah tempat Soni tinggal ke sekolah kurang lebih delapan kilometer dengan medan yang sulit, namun itu semua bukan menjadi halangan bagi Soni untuk mengejar cita-citanya.

Setiap jam lima pagi Soni dan teman-teman mulai perjalanan mereka dari rumah menuju ke sekolah dengan berjalan kaki dan baru tiba kembali di rumah sekitar pukul dua atau tiga sore.
 
Akibat sering tidak sarapan, mereka sering kali menahan rasa lapar yang menyerang dalam perjalanan mereka ke sekolah. Ini semua akibat hasil kebun yang menjadi harapan sebagian besar masyarakat desa Merdeka tidak menentu. 

Nasi putih sudah menjadi makanan istimewa bagi anak-anak yang berangkat ke sekolah di desa Merdeka. Sering kali jika mereka kurang beruntung, Soni dan anak-anak di desa Merdeka hanya menyantap nasi yang diberi banyak air sehingga tampak seperti bubur untuk mengganjal perut sampai mereka kembali ke rumah.

Medan yang jauh dan terjal sejauh kurang lebih 16 kilometer pulang pergi, kemiskinan yang membuat orangtua tidak bisa memberikan “hal yang layak” bagi anak-anak yang menuntut ilmu membuat banyak dari mereka memutuskan untuk berhenti bersekolah. 

Keberadaan Tangan Pengharapan memberikan harapan bagi anak-anak seperti Soni untuk kembali semangat belajar. Kami sangat memahami bawa sekolah dan pendidikan sangat penting bagi masa depan anak-anak di desa Merdeka. 

Kegiatan FLC Merdeka diakan tiga kali seminggu yang dimulai dari pukul dua sore sampai jam empat atau lima sore bertepatan setelah mereka pulang sekolah. Soni senang sekali untuk ikut kegiatan ini, karena selain mendapatkan makanan bergizi juga mendapatkan les yang membuat mereka menjadi bertambah pintar. 

Suatu ketika kami pernah bertanya kepada Soni apakah dia bisa mencapai cita-citanya menjadi polisi? Dengan wajah polos dan penuh semangat dia berkata “Ya saya pasti bisa jadi polisi”


En/In a remote village in east Sumba named Merdeka Soleman Kabubu Ratu Anding called Soni, was born. Though Merdeka is one of remote villages in east Sumba, but there are beautiful hills and valleys over there. During the rainy season, the scenery becomes more beautiful so that everyone that passes by is amazed and stunned seeing the beauty of its nature. 

Soni lives with her biological parents. Soni’s father is a farmer and his mother is a housewife. Besides, his mother often helps his husband work in their plantation. As Soni grows up, he also helps his parents clean their plantation. Soni’s family has corn as their staple food. 

When he grows into an adult, Soni aspires to be a policeman. So to make his aspiration come true, Soni begins to study. Now Soni is in the second grade of an elementary school. Though the distance from his home to school is about eight kilometers with difficult terrain, it doesn’t hinder him from pursuing his aspiration.

Every five o’clock in the morning, Soni and his friends begin their trip to school on foot and return home around two or three in the afternoon. 

Because of infrequent lunch, they often endure hunger that strikes them on their way to school. It is caused by the uncertain crops on which most people in Lindeha village pin their hope. 

White cooked rice becomes special food for the kids who go to school in Merdeka village. Often, if they are unlucky, Soni and other kids in the village only have some watered cooked rice that looks like rice porridge to fill their stomach until they return home.

Far distance of 16 km back and forth and steep terrain and poverty make their parents can’t give them ‘proper things’ so that many of them decide to drop out of schools.
 
The existence of Tangan Pengharapan gives hope to children like Soni so that they can study again enthusiastically. We fully understand that school and education are very important for the future of the children in Merdeka village

FLC activities are held three times a week which begins about 2.00 PM through 4 or 5 PM, right after school. Sony is very happy to attend these activities, because besides enjoying nutritious meal, he also gets additional courses that make them cleverer

One day we asked Soni whether he could pursue his goal as a policeman. And with his innocent enthusiastic face he replied, “Of course, I’ll be able to be a policeman.” 

Selasa, 07 Juli 2015

Pengobatan Gratis








In/Masyarakat selama ini menghadapi banyak kendala untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, mulai dari masalah transportasi, biaya pengobatan hingga ketersediaan tenaga dan alat medis. Masyarakat seringkali tidak mendapatkan pelayanan kesehatan karena belum semua warga miskin mendapat jaminan kesehatan (Jamkes).

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang belum dapat menjangkau seluruh warga, terutama masyarakat di pedalaman yang memiliki banyak keterbatasan infrastruktur seperti jalan, listrik dan keberadaan sentra layanan kesehatan.. Pengobatan gratis kepada masyarakat ini sangat penting untuk digelar terus menerus karena belum semua masyarakat, terutama yang hidup di pelosok-pelosok, mendapatkan pelayanan kesehatan.
 
Pada tanggal 25 Mei 2015 Tangan Pengharapan telah mengadakan pelayanan kesehatan gratis di dua desa yang terletak di Amanatun Utara tersebut dengan jarak tempuh menggunakan kendaraan 8 jam dari Kupang.
Setelah menempuh perjalanan yang sulit dan cukup panjang, tenaga medis yang terdiri dari Dr. Harliman yang didampingi paramedis ditambah tujuh orang staff Yayasan Tangan Pengharapan melakukan perjalanan selama dua jam menuju Desa Fotilo dengan medan yang cukup berat hingga memaksa tim turun dari kendaraan mobil dan menggunakan motor sambil sesekali berjalan kaki karena sulitnya medan.

Pelayanan di Desa Fotilo menjangkau 100 orang pasien dari 70 Kepala Keluarga yang ada. Dalam pelayanan di desa tersebut, didapati 6 orang pasien yang dicalonkan sebagai penerima bantuan operasi katarak gratis.

Di hari yang sama, tim medis kemudian melanjutkan pelayanan ke Desa Tumu yang berjarak satu kilometer dari Desa Fotilo. Meskipun medan yang dihadapi tidak kalah sulit, namun tidak menyurutkan tim medis untuk terus mencapai Desa Tumu guna melayani masyarakat di desa tersebut.

Setibanya di Desa Tumu, pelayanan kesehatan diberkan dengan cepat kepada dua ratus anak dan dilanjutkan dengan tiga ratus kaum dewasa.

Di kedua desa yang dilayani, kebanyakan didapati penyakit yang berhubungan dengan kebersihan, kurangnya nutrisi serta kurangnya kesadaran untuk mencegah penularan penyakit yang timbul akibat kebiasaan hidup yang salah.

Selain mendapatkan pengobatan, masyarakat juga diajar untuk hidup lebih baik lewat berbagai cara. Dalam kesempatan itu juga dibagikan sikat gigi kepada anak-anak untuk mendorong kebiasaan menyikat gigi pada anak-anak.

Pengobatan dapat berjalan baik. Namun di Desa Tumu masyarakat meminta agar layanan ini dilakukan lebih sering lagi hingga dapat membantu mereka hidup lebih baik dan lebih sehat.

En/People, so far, have many obstacles in getting medical service, starting from transportation problems, medical fee until the availability of medical personnel and equipment. Often people don’t get medical service because not all poor people get health insurance for the masses (Jamkesmas).

Access to a medical service is the basic need of mankind that still cannot reach all people, especially those in remote areas who have limited infrastructure such as road, electricity and health service centers. This free medical service is very important to be held continually because not all people, especially those living in remote areas get access to medical service.
 
On May 25th, 2015 Tangan Pengharapan held a free medical service in two villages located in north Amanatun that took 8 hours by car from Kupang.

After taking long enough and difficult trip, the medical workers consisting of Dr. Harliman who was accompanied by seven Yayasan Tangan Pengharapan’s staffs made a 2 hour trip to Fotilo village on difficult terrain that the team had to get down the car and take a motorbike and walk on foot once in a while.

The service held in Fotilo village reached 100 patients from 70 families. During the service in the village 6 people were found and nominated as recipients of free cataract surgery program.

In the same day, our medical teman, then, continued the service to Tumu village with the distance of one kilometer from Fotilo village. Though the terrain that we passed through is not less difficult, but it didn’t impede the team to reach Tumu village in order to serve the local villagers.

Arriving at Tumu village, the medical service was swiftly given to two hundred children and continued with three hundred adults.

In the villages that were served, most diseases that were found related to cleanliness, lack of nutrition and unawareness to impede the transmission of diseases caused by the wrong habits.

Besides getting medical treatment, the people were also  taught to live better in many ways. On that occasion the children were given toothbrushes to get them accustomed to brushing their teeth.

The free medical service went well. But in Tumu village. the local people asked that the program to be held more often to make them live much better.