Senin, 29 Juni 2015

P2C Tangan Pengharapan









In/Rumah bulat merupakan rumah tradisional Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih banyak digunakan oleh penduduk yang tinggal di pedesaan. Sayangnya, kondisi rumah tanpa jendela ini juga digunakan sebagai tempat pengasapan hasil panen, membuat rumah bulat menjadi 'sarang penyakit'.
Rumah yang berbentuk bulat dengan atap terbuat dari daun lontar kering merupakan tempat yang aman untuk berlindung dari serangan angin dingin di malam hari. Rumah tradisional ini dibuat hanya dengan satu pintu berukuran pendek, yang mengharuskan orang menunduk ketika ingin masuk ke dalamnya.
Rumah bulat tidak memiliki jendela dan sekat. Semua aktivitas di dalam rumah, seperti tidur, makan bahkan memasak, dilakukan dalam satu ruangan. Selain sebagai tempat tinggal, rumah bulat juga digunakan sebagai tempat pengawetan bahan pangan.
Di tengah ruangan, ada perapian yang menggunakan kayu bakar untuk memasak, juga mengasapi bahan pangan berupa hasil bumi yang dipanen selama musim hujan, seperti jagung dan padi, agar awet hingga bertahun-tahun.
Bahan pangan hasil panen diletakkan di bagian atap rumah, yang kemudian selalu diasap agar tidak busuk dan dapat bertahan lama. Rumah bulat juga tidak berubin dan masih berlantai tanah, membuat kondisinya pengap, gelap, penuh debu dan asap, yang sangat mengancam kesehatan penghuninya.
Tangan Pengharapan membangunkan rumah sehat sederhana bagi penduduk di TTS. Dengan rumah sehat sederhana ini, penduduk dapat hidup lebih layak dan lebih sehat.
En/Round shaped houseis traditional house of east Nusa Tenggara that is still being used by the people living in villages. Unfortunately, this windowless house is often used as a place to smoke the crops, making it the place of various diseases.
The house that has round shapes with the roofs made of dried palm leaves is the safe place to take shelter from cold wind at nights. This traditional house is built with one short door that requires those to bow down in order to enter it.
This traditional hose has neither window nor separator. All indoor activities like sleeping, eating and even cooking is done in one room. Besides as a residence, the round shaped house is used as a place to preserve food stock.
Right in the middle of the room there is a fireplace that uses firewood to cook and smoke food stock in the form of crops that were harvested during rainy seasons, like corns and paddy, to make them durable for years.
The crops are put under the roof and then are smoked to prevent them from getting spoiled and well-preserved. The traditional house has no tile and it has dirty floor, making it humid, dark, full of dust and smoke that really threatens the health of its dwellers.
Tangan Pengharapan builds simple healthy houses for TTS villagers. In the simple healthy houses, people can live more properly and healthily.

Senin, 15 Juni 2015

Testimony FLC Yos Sudarso








In/Seringkali kita mendengar bahkan melihat secara langsung ataupun mengalaminya sendiri tentang hal kekerasan dalam keluarga yang pada akhirnya berujung kepada perceraian antara suami dan istri. Kita menyadari bahwa dalam situasi seperti itu yang menjadi korban bukan hanya istri atau suami namun yang menjadi korban paling berat adalah anak-anak.

Florida Gebze yang biasa dipanggil Ida adalah salah satu dari sekian banyak anak yang menjadi korban dalam permasalahan keluarga yang terjadi. Mama Ida bernama Oida Kaimu dan Bapa Ida bernama Tinus Gebze memiliki permasalahan yang cukup berat dalam rumah tangga mereka, sehingga tanpa mereka sadari Ida lah yang menjadi korban utama dalam situasi itu.

Setelah peristiwa perceraian bapa dan mama ida terjadi, ida berubah menjadi pribadi yang murung. Ida sempat bersekolah di dekat rumahnya, saat itu Ida baru kelas 1 SD. Namun sayangnya Ida tidak bisa menyelesaikan sekolahnya karena harus terhenti akibat keegoisan orang tuanya yang bercerai saat itu.

Purna sudah harapan Ida yang mungkin dia sudah idam-idamkan. Seolah-olah dia tahu bahwa masa depannya tidak ada lagi. Sering dia melihat kawan seusianya saat itu sedang berangkat ke sekolah namun dia sendiri hanya berdiam diri di rumah untuk membantu mamanya. Kadang-kadang Ida pun juga ikut serta dengan mamanya sambil membawa adiknya.

Tangan Pengharapan hadir di Merauke pada Tahun 2014 bulan Juni dan membuka center baru dengan program makan untuk belajar. Melalui program ini banyak anak-anak yang tertolong dalam hal pendidikan dan makanan bergizi. Salah satu anak yang tertolong lewat program ini adalah Florida Gebze. Florida Gebze merupakan salah satu anak yang cukup baik dan aktif pergi ke FLC, sehingga kami merasa tidak percaya kalau sesungguhnya Ida adalah anak yang berada dalam keluarga broken home. Namun semangatnya untuk tetap belajar dan sekolah itulah yang membuat kami dari Tangan Pengharapan merasa berguna bisa ada di tengah-tengah mereka. Tetap sekolah walaupun dalam masalah….. itu adalah doa dan semboyan hidup anak-anak seperti Florida. 

En/Often we hear and even see directly about family violence that eventually leads to a divorce between husband and wife. We recognize that in such situations the victims not only spouses but the most severe casualties are the children.

Florida Gebze, called Ida, is one of many children who became the victims of the occurring family problems. Ida’s mom Oida Kaimu and dad Tinus Gebze had quite severe problems in their household. Without them knowing, Ida had been the main victim in that situation.

After her parents’ divorce, she turned into a moody person. Ida had time to go to school near her home, when she was at the 1st grade. Unfortunately, Ida could not finish school and had to stop going to school due to the selfishness of her parents who ended in divorce at that time.

Gone is Ida’s hope which she has been dreaming so far. As if she knows that her future is already gone. Often she saw her friends at her age going to school, but she herself was only staying at house helping her mother doing household chores. Sometimes she also followed her mother, while carrying her sister.

Tangan Pengharapan in Merauke started up a new center with its “Eating for Learning program in June 2014. Through this program many children were given help in terms of education and nutritious food. One of the children who were helped through this program is Florida Gebze. Florida Gebze is a child who is quite good and actively goes to the Feeding and Learning Center, so that we doubt that she is actually a child who comes from a broken home. Yet, the spirit to continue learning at school makes Tangan Pengharapan feel useful to exist in their midst. Keep Going to School in the Midst of Trouble... It is a prayer and life’s motto of these kids just like in Florida.

Selasa, 09 Juni 2015

Testimony FLC Oenasi







In/Seandainya diberikan pilihan, tentu Marlyn Maneis tidak mau hidup dalam kekurangan seperti yang dialaminya saat ini. Berbagai masalah bisa saja muncul tanpa ada jalan keluar. Akibat kekurangan ini, ayahnya, Simon Maneis, terpaksa menerima takdirnya ketika dinyatakan dirinya mengalami kelumpuhan hingga akhir hayatnya. 

Merupakan sebuah pukulan yang berat bagi keluarga Marlyn ketika empat tahun yang lalu Pak Simon divonis menderita penyakit lumpuh pada kakinya. Sejak saat itu, Ibu Margarita yang menanggung semua pekerjaan untuk dapat terus menghidupi anak-anaknya dan membeli obat-obatan untuk suaminya. Ibu Margarita tidak hanya bercocok tanam di rumahnya dan membawa hasilnya, yang berupa sayur-sayuran ke pasar, namun Ibu Margarita juga bersedia untuk menjadi pembantu rumah tangga dengan mencuci pakaian untuk bisa mendapatkan 1 kg beras untuk makan keluarganya selama beberapa hari. Ibu Margarita bahkan juga menjadi buruh tani di kebun orang lain. 

Karena pendapatan yang keluarga Marlyn terima menjadi lebih sedikit, mereka terpaksa pindah ke sebuah gubuk kecil yang hanya beratapkan gewang dan berdinding bambu; tidak ada kamar dan berlantaikan tanah.
Melihat penderitaan istri dan anak-anaknya akibat kelumpuhan yang dialaminya, Pak Simon semakin sering termenung sendirian dan menangis. Pak Simon sangat mengkuatirkan masa depan keluarganya. Karena kesedihan dan kekuatirannya, Pak Simon sering tidak bisa tidur di malam hari dan hal ini membuat kondisinya semakin lemah dan semakin menurun. Sehingga pada akhirnya di Sabtu yang mendung di desa Oenasi pada tanggal 26 Mei 2012, Pak Simon mengehmbuskan nafasnya yang terakhir. Bagi Ibu Margarita dan Marlyn serta adik-adiknya, kepergian ayah mereka bukanlah kehendak mereka. Mereka memilih agar suami dan ayah mereka bisa terus bersama dengan mereka, menjadi sehat dan menemani mereka sampai mereka tumbuh dewasa. Namun, kehendak Tuhan berkata lain dan mereka tidak bisa melakukan apapun selain berserah. 

Sejenak pikiran melintas di benak Marlyn, apakah dengan kepergian ayahnya untuk selamanya ia bisa tetap bersekolah dan mewujudkan impiannya? Ataukah ia harus melupakan semua itu dan menjalani hari-harinya dengan bekerja membantu ibu menghidupi adik-adiknya? Namun syukurlah, di Center YTP ia bisa tetap mengikuti bimbingan belajar gratis, mendapatkan asupan bergizi dan tetap bisa membantu ibunya. Bahkan Marlyn semakin giat belajar demi masa depannya. 

En/If he would have been given a choice, surely Marlyn Maneis didn’t want to live a poor life like he does now. Many problems may come without any solution. Because of this poverty, his father, Simon Maneis, had to accept his fate when he was declared lame till the end of his life.

It was a heavy trial for Marlyn’s family when four years ago Mr. Simon was diagnosed with paralysis on his foot. Since that time, Mrs. Margarita had to do all jobs just to raise their children and buy some medicine for her husband. Mrs. Margarita does not only do farming at her house and bring the vegetables to the local market, but she also does a housemaid job like washing clothes for 1 kg of rice to feed her family for few days. She even works as a farmer in other’s plantation.

Because the income the family got became less, they had to move to a small hut with gewang leaves as rooftop, unrolled bamboos as wall, no room inside and dirty floor.

Seeing the sufferings felt by his wife and children because of his paralysis, Mr. Simon often pondered his fate alone and cried. He was very worried about his family’s future. Because of his sadness and anxiety, Mr. Simon was often unable to sleep at night, making his condition weaker. And on a cloudy Saturday, May 26th, 2012 in Oenasi village he breathed his last breath. For Mrs. Margarita and Marlyn and his younger siblings, it was not their will that their father passed by. They would chose that the husband as well as father could be with them, healthy and together with them until they had grown up. But God determined the opposite and they could do nothing but surrendered.

A thought crossed his mind for a moment, because of his father’s death, would he still go to school and make his dream come true? Or, would he have to forget it all and spend his days working and helping his mother raise his younger siblings? But, thank God. At YTP’s Center he still can take part in free tutorials, get nutritious intake and help his mother. Even Marlyn studies more diligently for his future.

Senin, 01 Juni 2015

FLC Ratahan







In/Berangkat dengan rasa percaya akan janji-janji manis yang tidak pernah terbukti, 99 penduduk bersama keluarga meninggalkan tanah kelahiran mereka di pulau Jawa dan Nusa Tenggara Timur menuju ke daerah transmigran di Ratahan, Sulawesi Utara. Niat untuk  memperbaiki hidup malah berubah seratus delapan puluh derajat. Keterpurukanlah yang justru mereka alami dan rasakan. Semua harapan dan mimpi mereka tergerus oleh kenyataan di depan mata.

Mereka hanya bisa tertegun menyaksikan bidang-bidang tanah tanpa bangunan yang disediakan bagi mereka. Kecewa dan kesal berkecamuk dalam hati. Namun apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur. Rasa ingin pulang kembali ke kampung halaman tidak pernah terwujud karena ketiadaan dana. Akhirnya untuk dapat bertahan hidup, mereka mulai menggarap lahan-lahan yang awalnya mereka kira tidak ada pemiliknya. Dan merekapun harus rela meninggalkan lahan yang telah mereka tanami ketika pemiliknya menyita lahan tersebut.

Mereka hanya mendapat sebuah rumah papan tanpa isi dan tanpa fasilitas apa-apa, termasuk listrik dan air. Janji-janji pemberian fasilitas hanya tinggal berupa janji-janji yang tidak pernah menjadi sebuah kenyataan. Tidak ada lahan untuk bercocok tanam. Hanya pekarangan kecil yang tersisa. Pekarangan kecil yang sama itulah yang menjadi tumpuan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Nasaret, itulah nama salah satu dusun di daerah Ratahan, Sulawesi Utara yang menjadi tujuan para transmigran ini. Mereka terpaksa menggarap lahan kecil yang ada di sekitar rumah mereka untuk ditanami sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak adanya infrastruktur yang memadai membuat desa ini menjadi terisolir.

Oleh sebab itu Yayasan Tangan Harapan hadir untuk membantu masyarakat setempat dengan menyediakan mesin cetak batako dan bibit-bibit pertanian. Saat ini Tangan Pengharapan memulai dengan pergerakan feeding and learning center untuk membantu anak-anak menjadi generasi yang tahu kebenaran dan mau untuk tetap semangat dan giat dalam belajar.

En/Believing and trusting in sweet promises that were never proven, 99 families left their homeland in Java and East Nusa Tenggara and headed to the area in Ratahan, North Sulawesi. Their determination to improve their lives turned upside down. It is deterioration that they actually experience and feel. All their hopes and dreams are eroded by reality in front of their eyes.

They can only be stunned to see the acres of land without any buildings provided for them. Disappointed and annoyed raged inwardly. But they can’t say nothing, all is too late. Their desire to return to their hometown never comes true due to lack of funds. Finally, in order to survive, they begin to work on land that originally they thought has no owner. And they must be willing to leave the land they had planted when the owner of the confiscated land.

They just got an empty house without any facilities, including electricity and water. The promise they would get some facilities remains a promise that never comes true. No land for cultivation. Only a small lawn left. It is the same small lawn that  become their hope to meet their daily needs.

Nasaret is the name of one of the hamlets in the area of Ratahan, North Sulawesi, which became the destination of these migrants. They had to cultivate the small around the house, growing vegetables for their daily needs. The absence of adequate infrastructure make this village became isolated.

For that reason Yayasan Tangan Pengharapan exists to help local communities by providing lock brick molding machine and agricultural seeds. Currently Tangan Pengharapan has started with feeding and learning center to help local children become the generation who know the truth and want to remain energetic and active in learning.