Rabu, 08 Oktober 2014

"Kenapa Bapak Tidak Pulang, Bu?"

http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/


Adat yang berlaku di kepulauan Mentawai tampaknya tidak memberi dampak yang baik bagi kaum wanita. Ketika seorang lelaki melamar seorang perempuan, maka ia harus mengeluarkan kocek yang jumlahnya besar sesuai ketentuan adat untuk membayar tanah, sagu, durian, kelapa, kuali besar, kampak, parang dan juga memberi sejumlah yang tunai sesuai yang diminta pihak perempuan. Akibatnya, wanita sering diperlakukan sebagai pembantu dan harus bekerja di ladang, menjual hasil ladang, atau mancing ikan. Sedangkan si suami hanya di rumah menunggu sang istrei pulang dan membawa rokok untuknya

Ketika terjadi perceraian atau meninggalnya sang suami, maka sang istri harus kembali ke rumah orang tuanya tanpa membawa apa pun selain pakaian di badan. Hak asuh anakpun diberikan kepada pihak keluarga suami.

Kejadian ini  dialami oleh keluarga bapak Antonius dan ibu Anjelina.  Karena persoalan rumah tangga, Antonius pergi meninggalkan istri dan putrinya, Pokensia Meliana, yang pada waktu itu masih berumur 3 tahun dan menikah lagi di desa lain .

Akibat ketidak setiaannya terhadap isterinya, Antonius sering kali menggunakan uang hasil kerjanya untuk berselingkuh. Jatah yang seharusnya diberikan untuk isteri, ia habiskan untuk bersenang-senang dengan wanita lain. Hal itu sudah amat sering dilakukannya. Ia hanya membeli sagu untuk kebutuhan mereka sehari-hari sebagai wujud tanggung jawabnya. Selanjutnya isterinyalah yang harus memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.  Dalam kedaan yang sulit ibu Anjelina harus membesarkan Pokensia dengan kasih sayang.

Dalam usianya yang baru beranjak 3 tahun itu, pertumbuhan Pokensia terbilang cukup lambat. Tubuhnya tampak lebih kecil bila dibandingkan anak-anak seusianya di tempat lain. Perutnya yang buncit itu menandakan dirinya menderita penyakit cacingan. Tidak hanya itu, penyakit kulit dan bisul pun sering hinggap di tubuh kecilnya yang memang sering dialaminya sejak masih bayi.
Menyaksikan keadaan seperti ini, ibunya tidak bisa berbuat banyak.  Akibat tidak pernah mendapat asupan gizi yang cukup, tubuh ibunya semakin kurus karena harus memberikan ASI yang tentunya juga mengandung gizi yang kurang kepada anaknya. Karena tidak adanya asupan gizi untuk ibu yang menyusui itu, maka tidaklah mengherankan jika dirinya dan banyak lagi wanita di Mentawai yang tampak lebih tua dari usia para suami mereka meskipun mereka jarak umur pasangan itu tidak terpaut jauh, bahkan ada beberapa di antaranya yang seusia.

Pada waktu mulai masuk sekolah, Pokensia merasa minder karena semua kawannya memiliki ayah, sedangkan dia hanya miliki ibu. “Bapak kenapa tidak pulang, bu? Memang ke mana bapak?” tanya Pokensia pada ibunya. Ibunya hanya terdiam, tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan Pokensia kecil.

Saat Pokensia duduk di kelas VI Sekolah Dasar, ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki yang berstatus duda di dusun yang sama. Sejenak Pokensia merasa bahagia karena dia punya ayah seperti anak-anak lainnya. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Kehidupan Pokensia mulai terusik karena ayah tirinya tidak menerimanya, sehingga seusai tamat Sekolah Dasar tahun 2008, Pokensia tidak bisa melanjutkan sekolahnya hingga seorang tantenya membawanya untuk bersekolah di SMNP Lentera.

Pada 2011 lalu, Pokensia bergabung dengan sekolah SMP Lentera. Di sini Pokensia dapat kembali membangun cita-citanya untuk hidup lebih baik. Keterlibatan orang-orang yang peduli pada kehidupan anak-anak seperti Pokensia melalui Tangan Pengharapan telah membangkitkan semangat mereka. E. Namakofa

Mama Florence: Terima kasih, saya bisa melihat lagi