Senin, 28 April 2014

Despite of 10 year paralyzed, he keeps striving for life


http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/



in/Kekurangan dalam fisik manusia sering menjadi alasan untuk orang bermalas-malasan dan tak melakukan apa-apa. Bahkan banyak dari mereka menjadi seorang peminta-minta  dengan harapan mendapat belas kasihan ketika orang melihat cacat fisik dari diri orang tersebut. Tapi berbeda dengan Martinus. Laki laki paruh baya berusia 40 tahun yang berasal dari pedalaman Bengkayang, Kalimantan Barat ini adalah sosok yang tangguh. Sudah 10 tahun ia lumpuh tak berdaya. Kedua kakinya mati rasa dan tak dapat digerakan. 

Alhasil dia  terkurung di rumah kecil berdinding papan tanpa bisa melakukan aktivitas di luaran. Semua ini bermula 10 tahun lalu, ketika Martinus sedang memanjat pohon. Kakinya terpleset hingga akhirnya tubuhnya jatuh dengan posisi duduk. Sejak peristiwa itu, kedua kakinya melemah, tak mampu berjalan. Ia akhirnya lumpuh, tak bisa berjalan sama sekali. Ia hanya pasrah. Sejak ia lumpuh, istrinyalah yang mengurusi Martinus dan kedua anaknya, mencari nafkah dan biaya sekolah anak-anaknya. Namun, pekerjaan istrinya yang hanya berkebun dan menjual hasil kebun tak mencukupi kebutuhan keluarganya.

Akhirnya sang istri memutuskan untuk mengadu  nasib  di  negeri  jiran  Malaysia dan meninggalkan Martinus bersama dua anak mereka. Martinus pun dengan berat hati melepaskan sang istri untuk bekerja di negeri tetangga. Meskipun sebenarnya ia berkeberatan, namun menyadari dirnya tidak bisa berbuat apa-apa, ia terpaksa merelakan isterinya pergi. Toh kepergiannya untuk menopang hidup keluarga, begitulah  pikiran  yang  terlintas di benaknya. Tahun pertama selama di Malaysia, sang istri masih rajin mengirim kabar dan uang hasil kerjanya. Itu sangat membantu kehidupan anak-anak dan Martinus yang lumpuh tak bisa berbuat apa apa di rumah. Namun menginjak tahun ke 2, sang istri tak lagi mengirim kabar. Uang hasil kerjanya pun tak pernah dikirim lagi ke Martinus. Ada apa gerangan?

Martinus pun  kaget  bukan  kepalang  ketika sang istri kembali ke rumah dengan seorang anak bayi. Ternyata sang istri telah menikah lagi di Malaysia, entah dengan pria mana. Sang istri melahirkan anak bayi dengan wajah India Melayu. Setelah kembali dengan seorang bayi yang ditinggalkan padanya, sang istri pun kembali lagi ke Malaysia. Ia mengasuh anak-anaknya. Dengan segala keterbatasannya, ia mencoba memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya.

Sekalipun dalam kondisi yang lumpuh, Martinus tak berdiam diri. Ia tetap bekerja. Ia membuat keranjang bambu pesanan para tetangganya. Dengan begitu ia masih mempunyai penghasilan walau tak besar. Itu cukup untuk membeli beras sehari-hari.

Saat Tangan Pengharapan melakukan kunjungan ke Kalimantan Barat, kami menyempatkan waktu untuk mengunjungi pak Martinus dan anak-anak yang sudah mulai besar. Mendoakan pak Martinus untuk tetap semangat menjalani hidup dengan segala kekurangannya. Tangan Pengharapan juga membantu Pak Martinus dengan  memberi  sedikit  bingkisan. Senyum  pak  Martinus membuat kami sangat mengagumi sosoknya, walau keadaan tubuhnya tak sempurna. Ia masih mau bersemangat dan berusaha. Begitulah kehidupan yang dijalani Martinus selama 10 tahun ini. Sekalipun tidak mengeluh, ia dalam diamnya mungkin merasakan kejenuhan.  Ia  mungkin ingin menyerah. Tapi demi anak-anaknya yang ia kasihi, ia tetap berjuang untuk bisa hidup agar dapat mendampingi mereka dalam hidup ini.

en/Physical disabilities often become a cause for people to be lazy and do nothing. Even many of them become beggars hoping for mercy as people see their physical disabilities. But Martinus is one of the kind. The 40 year old man who lives in rural Bengkayang, west Kalimantan, is a tough man. He’s been paralyzed for 10 years. His feet get numb and unmovable. 

Consequently he gets stuck in his wood board walled house being unable to do outdoor activities. It all happened 10 years ago when Martinus was climbing a tree. His feet were slipped and fell in sitting position. Since then, his feet were getting weaker and finally he couldn’t move them. He was paralyzed. He succumbs to his fate. Since then his wife took care of Martinus and their children, supporting and paying their school administration fees. But as a farmer, she can’t meet their needs.

Eventually she decided to look for a job in Malaysia, leaving Martinus and 2 their children. Though his heart was weighted down with sorrow, he had to let her go, realizing he couldn’t do anything himself. “At least she went to support our family,” the thought crossed his mind. During her first year in Malaysia, she would send him news and the money she made. It surely was helpful to Martinus and his two children lives, anyway. But in the second year of being there, she no longer sent him any news. And she never sent him any money. He wondered what went wrong.

Martinus was very shocked seeing his wife coming back home with a baby. He found out that she got married again to another man. The baby had Indian and Malaysian look. After leaving the baby with him, she returned to Malaysia. He’s been taking care of their children. With all his limitations, he tries to give them attention and compassion.

Despite of his condition, Martinus doesn’t seem to remain inactive. He keeps working, making bamboo baskets ordered by his neighbors. Doing this, he makes some money although it isn’t much. With the money he can buy some rice every day.

When Tangan Pengharapan visited west Kalimantan, we spared some time to visit him and his two kids. We prayed he could live his live eagerly despite of his condition. Tangan Pengharapan gave him some present. His smile made us admire of him. He still struggles to survive. Martinus has been living this kind of life for 10 years. Although he never complains, in his silence he might feel bored. He might want to give up. But for his children he loves so much, he still struggles to survive that he can accompany them in life.



Kamis, 24 April 2014

Ria: The Winning Batik Designer From Pepe Village


http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/
http://www.tanganpengharapan.org/donation/



in/Dengan wajah ceria, Ria, siswi kelas 5 Sekolah Dasar yang juga merupakan peserta pelatihan ketrampilan Tangan Pengharapan di desa Pepe, maju ke podium untuk menerima penghargaan sebagai juara pertama lomba design batik tingkat SD sekecamatan Kedung Jati. Ria berhasil mengalahkan para peserta yang berasal dari 50 sekolah dasar.

Lomba tersebut diadakan pada bulan lalu. Para peserta diwajibkan untuk membuat design di atas kertas dan kemudian dipindahkan ke atas kain. Setelah itu, para peserta harus mencanting dan mewarnai design yang telah mereka buat. Dibutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk menyelesaikan sebuah design.

Ria termasuk anak binaan Yayasan Tangan Pengharapan di desa Pepe yang dinilai berhasil. Beberapa waktu sebelumnya, Ria juga meraih peringkat ketiga dalam lomba cerdas cermat tingkat SD. Bersama dua orang rekannya, Aris dan Wahyu yang juga merupakan anak asuh Tangan Pengharapan di desa Pepe dapat menjawab dengan benar hampir semua pertanyaan yang diajukan para dewan juri.

Desa Pepe di kabupaten Grobogan merupakan salah satu desa yang menjadi titik pelayanan Yayasan Tangan Pengharapan di Jawa Tengah. Masyarakat di desa ini tidak memiliki lahan sendiri. Untuk itu mereka terpaksa tinggal di tanah milik PERHUTANI. Hampir seluruh masyarakat di desa ini tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka bekerja sebagai kuli serabutan dan pengumpul kayu bakar.

Pekerjaan sebagai pengumpul kayu bakar tentu mengandung resiko. Jika sampai tertangkap oleh polisi hutan, maka mereka harus membayar denda yang terbilang besar. Biasanya jika tertangkap, mereka harus membayar sekitar dua juta rupiah untuk satu orang polisi hutan. Bayangkan jika polisi hutan yang menangkap seorang pencari kayu bakar berjumlah 5 orang. Tentu ia harus mengeluarkan uang sekitar sepuluh juta rupiah. Hal ini jelas tidak mungkin bagi penduduk setempat. Akibatnya mereka terpaksa berhutang atau bahkan menjual rumah tempat tinggal mereka. Dan polisi hutan sering beroperasi dalam kelompok yang berjumlah bisa lebih dari 3 orang.

Tanahnya yang kering semakin menyulitkan kehidupan di desa ini. Untuk bercocok tanam, hanya tanaman jagung yang bisa tumbuh di musim penghujan. Tanahnya yang mengandung kapur juga hanya bisa ditanami dengan tanaman jati.

Meski beban hidup yang dirasakan keluarga cukup berat, tapi Ria tidak putus asa. Ia menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk membangun masa depan yang lebih baik serta meningkatkan standar hidup keluarga kelak.

Dengan adanya sekolah ketrampilan membatik di desa Kaliceret, Ria dapat mengembangkan bakatnya. Keahliannya mendesain batik diharapkan dapat membawa corak yang lebih berragam terhadap batik karya tangan anak bangsa.

en/With joy on her face, Ria, a fifth grader and a participant of Tangan Pengharapan skill training program, walked toward the podium to receive an award as a winning Batik designer for elementary in Kedung Jati sub district, eliminating other participants from 50 elementary schools.

The contest was held last month. Participants had to make a design on a piece of paper first before moving it onto another piece of paper. They had to apply wax over the penciled in-outline of the pattern and then color it. it took about 4 hours to complete a design.

Ria is a successful fostered child by Tangan Pengharapan. Some time ago, she became the third champion of an intelligence contest for elementary. With her 2 schoolmates, Aris and Wahyu, who are fostered kids of Tangan Pengharapan in Pepe village, she could answer most of the questions correctly.

Pepe village in Grobogan regency is one of the village in Central Java supported  by Tangan Pengharapan. The villagers of Pepe don’t have their own land. That’s why they have to live on PERHUTANI owned land. Most of them don’t have any permanent job. They work as labors and firewood collectors.

Being a firewood collector is a risky job. If local forest officers catch them, they must pay big fine. If they get caught, they must pay about two million rupiah to an officer. Imagine if 5 officers catch them. He surely must give them about ten million rupiah, which is impossible for the local people. As a result, they have to loan some money from the loan shark or even sell their house. And the officers often come in group of more than 3 people.

Its dry land makes life in this village even harder. Only corn is suitable for plantation since it can be planted in rainy season. On its containing lime land, only teak trees can grow.
Though the brunt her family carries is heavy, but Ria doesn’t give up. With her abilities, she tries to build a better future and promote her family living standard.

Thanks to the batik training school, Ria can develop her talent. Her expertise in designing batik is hoped could bring more various patterns to batik made by the children of the nation.