Kamis, 25 September 2014

Testimony YTP Serui: UNGKAPAN HATI ALEXANDRIA WOTOI

http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/


Nama saya Alexandria Wotoi. Saya anak pertama dari Keluarga Yeremias Wotoi dan Monica Horota. Itulah yang dikatakan Alex ketika memperkenalkan dirinya di depan kelas. Sekalipun ayahnya hanya sebagai buruh kasar dan ibunya bekerja sebagai pengasuh anak di Panti Asuhan Lahai Roi Serui, keinginannya untuk belajar dan bersekolah dalam menggapai cita-cita menjadi Mantri memberikan harapan dan semangat tersendiri baginya.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena sampai saat ini saya masih bersekolah. Saya sekarang duduk di SD YPK 1 Serui, Kelas 5. Saya yakin ketika saya mengandalkan Tuhan saya yang tidak punya apa-apa bisa diubahkan Tuhan untuk mendapatkan apa yang saya perlukan,” lanjutnya.

“Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” Itulah yang saya baca dari kitab suci yang saya punya di Efesus 3:20.  

Saya senang tinggal di Panti Asuhan Lahai Roi Serui, karena di sini saya mempunyai begitu banyak teman. Ada pengalaman yang tidak pernah saya dapat di kampung, tetapi setelah saya tiba di Panti Asuhan baru saya mengerti banyak hal mengenai cara hidup mandiri.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena Panti Asuhan Lahai Roi Serui yang saya tinggal di bantu Yayasan Tangan Pengharapan dalam hal  “Makan Untuk Belajar”. Saya pribadi berdoa kepada Tuhan agar Yayasan Tangan Pengharapan dapat terus diberkati Tuhan dan terus berkarya dalam menyelamatkan banyak anak – anak yang tidak mampu di berbagai daerah di Indonesia ungkapnya.

Terkadang tidak terpikirkan oleh banyak orang ungkapan hati Alexandria Wotoi lewat doa dan harapannya yaitu ada banyak anak-anak yang kurang mampu di daerah yang mungkin kekurangan makan-makanan yang bergizi dan tidak mendapatkan pendidikan yang baik.

Yayasan Tangan Pengharapan lewat program Children Project memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk ikut mengambil bagian dalam menolong anak bangsa kita agar mereka mendapatkan makanan yang bergizi dan pendidikan yang lebih baik. Live a better life. Mae Dawir

Link Youtube Ternak Untuk Pendidikan Anak di NTT


Rabu, 17 September 2014

Yunus Nobisa, Profil Petani Penerima Bantuan Kios

http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/


Kebanyakan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah pedalaman di wilayah Indonesia tengah dan timur bekerja sebagai petani, pemecah batu, guru, atau buruh kasar dengan upah yang tidak besar. Keadaan ini tentu tidak saja membuat hidup mereka mengalami kesusahan. Bahkan ada beberapa keluarga yang karena kesulitan dalam bidang ekonomi, harus pergi meninggalkan anak-anak mereka dan menitipkannya pada kakek dan nenek mereka yang memang sudah renta dan tidak dapat bekerja maksimal. Akibatnya banyak anak yang terpaksa tidak bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Mereka terpaksa bekerja untuk bisa menopang hidup keluarga yang mereka tinggali.

Most of people living in rural areas in middle and eastern part of Indonesia work as farmers, stone breakers, teachers, or laborers with meager income. This situation doesn’t only make their life hard. Even some of families who have economic problems must leave their little ones with their old grandparents who cannot work hard anymore. And the consequence is that many children cannot go to school. They ought to work to support the families they live in.

Bagi kebanyakan penduduk yang berprofesi sebagai petani pun tidak memiliki ladang sendiri. Mereka mengelola lahan milik orang lain dan hasilnya dibagi dua dengan si empunya lahan. Demikian juga dengan ternak.

Those who work as farmers do not have their own land to cultivate. They cultivate other’s land and then share the crops with the owners. And they do the same with livestock.

Namun Yunus Nobisa merupakan pengecualian. Di lahan miliknya yang tidak luas, ia bercocok tanam sayuran untuk dikonsumsi sendiri. Jika ada lebih, maka hasilnya dijual untuk membeli kebutuhan pokok. Perlu diketahui bahwa di tanah Timor, air sulit untuk didapatkan. Untuk itu ia harus berjalan kaki jauh untuk mengambil air guna menyiram ladangnya. Hal itu rutin dilakukannya selama bertahun-tahun.

But Mr. Yunus nobisa is an exception. In his small land, he plants vegetables to meet his family need. If there is more, he sells the vegetables to buy basic needs. It’s important to know that in Timor island water is scarce to get. He must take a long walk to get the water for his farm. And he’s been doing this for years.

Dari kelebihan yang didapatnya sedikit demi sedikit, ia kumpulkan untuk membeli beberapa ekor ayam. Ayam-ayam  tersebut kemudian dikembang biakkan hingga jumlahnya menjadi cukup banyak. Rupanya di samping bertani, pak Yunus memiliki keahlian dalam beternak ayam.  Kemudian untuk menambah penghasilannya, dia menjual hampir semua ayam miliknya dan uang hasil penjualan tersebut ia gunakan untuk membeli babi. Babi yang ia beli kemudian ia ternakkan. Dengan penuh ketekunan ia merawat babi miliknya dan member makan secara teratur sehingga babi tersebut tumbuh sehat.

He collects the surplus money he makes from selling vegetables to buy chickens. Then he breeds the chickens. It seems besides farming, Mr. Yunus is good at chicken breeding. To get more income, he, then, sells most of his chickens and with the money he gets he buys pigs. Then he breeds the pigs. Dilligently he takes care of his pigs and feeds them regularly, that the pigs grow healthy.

Dengan adanya ternak babi dan ayam, kehidupan keluarga pak Yunus Nobisa pun menjadi sedikit lebih baik.  Setiap pagi beliau sudah melakukan aktivitasnya dan baru pulang sore hari. Ini semua dia lakukan untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya.  Perbedaan telah menjadikan keluarga pak Yunus hidup terasing di tengah keramaian.  Hal ini sungguh ironis. Namun pak Yunus percaya bahwa pada suatu hari kelak dia dan keluarganya dapat menjadi berkat bagi lingkungannya.

Having pigs and chickens, Mr Yunus Nobisa’s life is getting better. Every morning he does all the works and returns home in the sunset. He does all these things to improve his family’s life. Difference has made his family live isolated. It is so ironic. But Mr. yunus believes that someday he and his family can be a blessing to the people around them.

Keyakinan pak Yunus yang dipegangnya erat-erat di dalam hatinya akhirnya membuahkan hasil. Pada suatu saat, Yayasan Tangan Pengharapan melakukan survey dan mendapati keluarga pak Yunus Nobisa.  Setelah mendengar dan melihat sendiri ketekunan pak Yunus yang kini telah memiliki dua ekor sapi, Tangan Pengharapan tergerak untuk membantu keluarga ini.  Tangan Pengharapan membangunkan sebuah kios untuk bapak Yunus Nobisa di Mauleum, TTS, NTT. Hal ini dilakukan mengingat bapak Yunus adalah tipe seorang pekerja keras yang berusaha menghidupi keluarganya walaupun himpitan ekonomi begitu besar.  Melalui bantuan usaha mikro, Yayasan Tangan Pengharapan membangunkan kios agar bapak Yunus dapat berjualan dan menjadi berkat bagi lingkungan sekitarnya.AdolfSilubun

The belief he holds tightly in his heart eventually shows its result. One day, Yayasan Tangan Pengharapan commenced a survey and found Mr. Yunus Nobisa’s family. After seeing and hearing about Mr. Yunus who now has two cows, Tangan Pengharapan was moved and helped this family.  Tangan Pengharapan built a kiosk form Mr. Yunus Nobisa in Mauleum, TTS, NTT. Tangan Pengharapan does this since Mr. Yunus is a hard working farmer who tries to support his family despite the economic problems. Through its micro business program, Yayasan Tangan Pengharapan can sell stuffs and become a blessing for the people around them.AdolfSilubun



Selasa, 09 September 2014

Devi Si “Pemungut Ikan”

http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/


Deviana Esbapan, nama gadis cilik berusia 7 tahun itu, berdiri di sela-sela bilik-bilik papan yang ditempati beberapa keluarga. Sesekali memandang ke dalam bilik, terngiang pesan mamanya “...ko jaga adik-adik, mama pulang sore.” 
Deviana Esbapa, the 7 year old little girl, was leaning on wooden chambers occupied by few families. Occasionally she glanced into the chamber. She could remember the voice of her mother, saying “…take a good care of your siblings. I’ll return home after the sunset.”
Mama Devi, begitu ia biasa dipanggil, sehari-hari bekerja mencari besi tua untuk dijual. Mencoba menopang ekonomi keluarga, membantu sang suami yang bekerja sebagai tukang babat rumput di kantor Dinas Pekerjaan Umum.  Sekalipun pendapatannya tidak menentu, namun itulah penyambung hidup mereka.
Mama Devi, so people call her, everyday has to look for pieces of old unused iron to sell. To add her family income, she helps her husband who does traditional grass cutting in the office of the department of public works. Though the money they make is very insufficient, but they don’t quit.
Dari sorot matanya nampak sekali Devi ingin segera berlari ke Rumah Belajar di samping Pelabuhan Merauke. Di sana teman-teman pasti sudah berkumpul untuk mulai belajar, aktivitas rutin di pagi hari. Di pagi hari Rumah Belajar yang didukung oleh Yayasan Tangan Pengharapan itu selalu ramai dengan “Anak-Anak Suku” yang putus sekolah, buta huruf atau anak-anak usia dini yang ingin belajar baca tulis, sementara para orang tua sibuk sebagai buruh kasar di pelabuhan dan berbagai tempat lain.  
From the look in her eyes, Devi wished she could’ve run to the ‘Rumah Belajar’ situated besides the Merauke port. She believed her friends had gathered there to learn. This was another morning activity. In the morning the ‘Rumah Belajar’ supported by Yayasan Tangan Pengharapan was crowded with dropouts, illiterate and preschoolers who wanted to learn how to read and write, while their parents as labors went to work in port nearby or any other places.
Namun hari ini, sepertinya hasrat Devi harus dipendamnya....Terkadang Devi pun harus ikut di atas sebuah pick-up bersama mamanya dan mama-mama yang lain pergi ke rawa-rawa yang jaraknya sekitar 150 km dari distrik Merauke untuk mencari ikan. Di saat teman-teman seusianya menikmati pendidikan yang baik, Devi harus menjadi seorang pekerja “pemungut ikan” bersama mamanya.
But today it seemed Devi had to bury her desire…. Sometimes she had to come with her mother and other women on a pickup truck to swamp areas about 150 km from Merauke district to catch fish. When her friends of her age were studying, Devi had to catch fish out in the swamps with her mother.
Ikan-ikan itu dicari dengan cara manual.  Para “pemungut ikan” seperti Devi harus memasukkan tangannya ke dalam rawa-rawa, meraba-raba, dan jika terasa ada ikan tangan Devi dengan sigap menangkapnya.  Hasil tangkapan kemudian dibagi dengan orang yang menyewa pick-up.
They catch fish manually. Fish catchers as Devi, put their hands into the swamp, feeling, and if there is a fish, Devi catches it spryly. Then she shared the fish she caught with the pickup truck lessee.
Alih-alih menjadi sesuatu yang menyenangkan, pekerjaan ini merupakan sebuah resiko besar, jika mengingat rawa-rawa adalah rumah bagi ular dan lintah, bukan bagi gadis mungil bernama Deviana Esbapan....
Instead of bringing excitement, this work is very risky since swamp is a home to venomous snakes and leeches, not a home for a little girl named Deviana Esbapan….
“Lebih enak ada di sekolah ( Rumah Belajar)....” Devi menggumam sambil menunduk.  “Saya mau jadi guru seperti Mama Ibu....”
“It’s much better being at school (Rumah Belajar)….” said Devi, bowing her head. “My aspiration is to be a teacher just like Mama Ibu… (a name given to an honored woman).
Siapa yang bisa benar-benar memahami keinginan hati Devi? Kemiskinan keluarga memaksa Devi menjadi seorang pekerja di usia kecil.  Dan berada di ruang belajar bersama teman-teman adalah sesuatu yang bisa membuat matanya berbinar. Itu sebabnya kehadiran Yayasan Tangan Pengharapan center Merauke menjadi secerca harapan bagi Devi beserta teman – temannya.
Who can really understand what Devi wants? Poverty that traps her family forces her to be a labor at her young age. Being in the classroom with her classmates makes her eyes glowing. That’s why Tangan Pengharapan in Merauke becomes a hope for Devi and her friends.