Jumat, 25 September 2015

Ketekunan Yang Membuahkan Hasil










In/Dari keluarga yang tidak mampu di pedalaman daerah Papua yang bernama Sugapa, lahir seorang anak bernama Dewinus Tigau dari pasangan ayah yang bernama Ishak Tigau bekerja sebagai seorang petani, dan ibu bernama Joamina yang kesehariannya bekerja sebagai ibu rumah tangga selain mengurus keluarga dan membantu suami di kebun.  Penghasilan ayah yang hanya bergantung dari hasil berkebun, membuat Dewinus yang berkeinginan untuk sekolah dari usia 5 Tahun sudah tinggal di Asrama Pesat yang ada di Sugapa.  Selesai pendidikan di TK Cendrawasih di Sugapa, Dewinus otomatis bergabung dengan teman-temannya yang ada di Asrama Gilgal Nabire untuk melanjutkan studi ke jenjang sekolah dasar.

Dari kecil terlihat bakat dan dari sang anak yang cerdas, ketika di TK Dewinus termasuk salah satu murid yang pintar, tapi belum terasah betul.  Sejak ia duduk dikelas 1 SD sampai sekarang selalu masuk ranking 10 besar di antara sekian jumlah anak yang ada dikelasnya.  Banyak  guru yang terpukau kala itu,  “Anak ini pintar dibanding beberapa anak yang datang dari pedalaman Papua lainnya,” demikian komentar salah satu guru SD Agape.

Di Asrama keseharian kehidupan dari Dewinus sangat baik, dari pendidikan rohani yang di tanamkan para pengasuh ke setiap anak yang tinggal di asrama, Dewinus juga salah satu anak yang dapat menyerap dengan baik pendidikan yang diberikan, berbeda dengan beberapa anak yang selalu bermasalah dengan para pengasuh mengenai tanggung jawab, disiplin dan hal-hal yang lain.

Interaksi Dewinus dengan teman, pengasuh maupun guru di sekolah sangat baik.  “Anak ini sangat mudah bekerja sama dengan teman yang lain sehingga dia mudah diterima oleh sesama teman yang lain,” demikian komentar  ibu Painina Panjaitan wali kelas IV.

Memang ketika dari kecil Dewinus memang sudah terbiasa hidup mandiri, sehingga ketika tinggal di asrama ia tidak repot untuk mengatur segala keperluannya.  Dia sangat senang kebersamaan dalam kerja bakti yang setiap pagi hari dilakukan dilingkup asrama Gilgal sebelum semua anak mandi dan bersiap-siap ke sekolah.

Ketika ditanya bagaimana tanggapannya selama berada di asrama, Dewinus  menjawab ia sangat bersyukur karena bisa tinggal dan menjadi bagian dari Yayasan Tangan Pengharapan, sehingga ia bisa sekolah dan mendapat makanan yang bergizi, dan bisa mewujudkan mimpinya menjadi seorang polisi.

En/In an underprivileged family in a rural area in Papua called Sugapa, a boy named Dewinus Tigau was born of a father named Isaac Tigau father who work as a farmer and a mother named Joamina who is a housewife. she also takes care of her family and helps her husband in their plantation. His father’s income that depends on the crops made Dewinus who had wanted to go to school since he was 5 years old now lives is Pesat’s boarding school in Sugapa. After graduating from Cendrawasih kindergarten in Sugapa, Dewinus automatically joins his friends in Gilgal boarding school in Nabire to continue his study to the elementary school.

When he was a little kid he appeared to be talented and clever. In his kindergarten Dewinus was one of clever students but he was not well prepared. Since he was a first grader until now he has been always in the top 10 rank among many children in his class. Many teachers were amazed at the time, "Compared to some children from other rural areas in Papua, this child is smart," commented a teacher of Agape elementary school.

In the boarding house Dewinus’s life is very good because of spiritual education given to every child who lives there by caregivers. Dewinus also one of the children who can understand well the subjects given, not like some of the children who are always in trouble with their caregivers about responsibility, discipline and other matters.

Dewinus can get along very well with his friends, caregivers and teachers at school. "This child can easily work together with other friends and his peers accept him easily," Mrs. Painina Panjaitan, the homeroom teacher of IV graders.

Since his childhood Dewinus has already been accustomed to living independently, so when he has to stay in the boarding house, he has no trouble in organizing every need. He loves togetherness when doing voluntary work every morning around Gilgal boarding house before all the children take a bath and get ready for school.

When asked about his response while living in the boarding house, Dewinus says he is very grateful to be allowed to stay and to be part of Yayasan Tangan Pengharapan, so that he can go to school and enjoy nutritious food and make his dream of becoming a police officer come true.




Senin, 10 Agustus 2015

Feeding & Learning Center Pelaik Kemayo









In/Menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit dari jalan aspal, kita akan menyusuri jalanan berbatu dan jembatan gantung. Di ujung jalan berlumpur kita akan tiba di Dusun Pelaik Kemayo, Desa Kampet Kecamatan Banyuke Hulu Kabupaten Landak Kalimantan Barat. Dusun yang berjarak 2 Km dari pusat Desa Kampet dengan jumlah penduduk hampir 1000 jiwa ini masih belum dapat menikmati kemerdekaan bangsa Indonesia seutuhnya. Tidak ada fasilitas kesehatan, listrik, dan air bersih. Bahkan Sekolah Dasar yang ada hanya terdiri dari 3 kelas.

Mayoritas penduduknya yang berprofesi sebagai petani berakibat pada kurangnya kepedulian terhadap pendidikan anak-anak mereka. Persentase  anak-anak yang menempuh pendidikan SMA sampai  Perguruan Tinggi tidak lebih dari 10 %. Mereka yang sudah tamat sekolah lebih banyak yang memilih bekerja di luar daerah sehingga nyaris tidak ada SDM yang dapat diandalkan untuk menjadi Agent of Change.

Di dusun ini terdapat 70 anak sekolah dasar yang dididik oleh 6 orang guru yang terdiri dari 2 orang PNS dan 4 orang guru honorer. 6 rombongan belajar yang ada hanya memiliki 3 ruang belajar, sehingga rombongan tersebut harus menggunakan ruang-ruang belajar itu secara bergantian. bila ditinjau dari segi kesehatan, ketujuh puluh siswa yang ada masih berada dibawah garis kecukupan gizi dan ini terlihat dari usia, tinggi badan serta berat badan anak-anak yang mengindikasikan bahwa sekitar 70% anak-anak itu belum terpenuhi angka kecukupan gizi mereka.

Sejak minggu pertama bulan April lalu Yayasan Tangan Pengharapan telah memulai program Feeding and Learning Center untuk membantu pemenuhan gizi anak-anak dengan pemberian makanan tambahan secara rutin 3x setiap minggunya dan melaksanakan pembelajaran tambahan di luar jam sekolah. Hal ini dilakukan karena kurang efektifnya waktu belajar yang tersedia di sekolah serta pendidikan moral dan agama. Program ini dijalankan dengan harapan agar dapat mewujudkan generasi yang  sehat, cerdas serta berakhlak mulia.

En/Travelling approximately 15 minutes from the asphalt road, we're going down a rocky road and a hanging bridge. At the end of a muddy road we will arrive in Pelaik Kemayo hamlet in Kampet village, Banyuke Hulu subdistrict, Landak District of West Kalimantan. The hamlet that is located around 2 kilometers from the center of Kampet village with a population of almost 1000 people still doesn’t fully enjoy the independence of Indonesia. There are no health facilities, electricity, and clean water. Even the elementary school that exists there has only three classrooms. 


The most of the people are farmers, and as a result, they don’t care enough about their kids’ education. The kids who study in high school to university are not more than 10%. Those who have graduated from their schools prefer to work outside their village, so there is almost no reliable human resources to become the agents of change.


In this hamlet, there are 70 elementary school students who are taught by six teachers consisting of 2 civil servants and 4 honorary teachers. The 6 study groups that exist have to share three classrooms, so that they need to use the learning spaces interchangeably. Viewed from health aspect, all the seventy students remain below the line of nutritional adequacy and it can be seen from their age, height and weight, indicating that about 70% of children haven’t yet well nourished.

Since the first week of last April Yayasan Tangan Pengharapan has been starting its Feeding and Learning Center programs to meet their nutrition by giving them routine additional meal every week and education outside school hours. This is done because of lack of effective learning time in schools as well as moral and religious education. The program is run in the hope that it can build a healthy, intelligent and noble generation.





Senin, 27 Juli 2015

Kesaksian FLC Tanggaba











In/Di sebuah  kampung yang diberi nama Merdeka dan terletak di salah satu desa terpencil di Sumba Timur lahirlah Soleman Kabubu Ratu  Anding  yang biasa dipanggil  Soni. Meskipun desa Merdeka termasuk salah satu desa terpencil di Sumba Timur namun, namun  di sana ada deretan bukit dan lembah yang begitu indah. Apa lagi di musim hujan, pemandangannya semakin indah hingga membuat setiap orang yang lewat terpesona dan tertegun menyaksikan keindahan alamnya.

Soni tinggal dengan kedua orang tua kandungnya. Ayah Soni bekerja sebagai petani sedangkan ibunya sebagai Ibu rumah tangga. Di samping itu ia juga sering membantu ayah Soni bekerja di kebun. Seiring dengan perkembangan tubuh Soni juga sudah mulai besar,  dia juga membantu orang tuanya membersihkan kebun. Makanan pokok keluarga Soni adalah jagung.

Cita-cita Soni adalah menjadi seorang polisi saat besar nanti. Sehingga untuk mewujutkan cita-citanya maka dia mulai menuntut ilmu. Sekarang Soni berada di kelas Dua  SD. Meskipun jarak dari rumah tempat Soni tinggal ke sekolah kurang lebih delapan kilometer dengan medan yang sulit, namun itu semua bukan menjadi halangan bagi Soni untuk mengejar cita-citanya.

Setiap jam lima pagi Soni dan teman-teman mulai perjalanan mereka dari rumah menuju ke sekolah dengan berjalan kaki dan baru tiba kembali di rumah sekitar pukul dua atau tiga sore.
 
Akibat sering tidak sarapan, mereka sering kali menahan rasa lapar yang menyerang dalam perjalanan mereka ke sekolah. Ini semua akibat hasil kebun yang menjadi harapan sebagian besar masyarakat desa Merdeka tidak menentu. 

Nasi putih sudah menjadi makanan istimewa bagi anak-anak yang berangkat ke sekolah di desa Merdeka. Sering kali jika mereka kurang beruntung, Soni dan anak-anak di desa Merdeka hanya menyantap nasi yang diberi banyak air sehingga tampak seperti bubur untuk mengganjal perut sampai mereka kembali ke rumah.

Medan yang jauh dan terjal sejauh kurang lebih 16 kilometer pulang pergi, kemiskinan yang membuat orangtua tidak bisa memberikan “hal yang layak” bagi anak-anak yang menuntut ilmu membuat banyak dari mereka memutuskan untuk berhenti bersekolah. 

Keberadaan Tangan Pengharapan memberikan harapan bagi anak-anak seperti Soni untuk kembali semangat belajar. Kami sangat memahami bawa sekolah dan pendidikan sangat penting bagi masa depan anak-anak di desa Merdeka. 

Kegiatan FLC Merdeka diakan tiga kali seminggu yang dimulai dari pukul dua sore sampai jam empat atau lima sore bertepatan setelah mereka pulang sekolah. Soni senang sekali untuk ikut kegiatan ini, karena selain mendapatkan makanan bergizi juga mendapatkan les yang membuat mereka menjadi bertambah pintar. 

Suatu ketika kami pernah bertanya kepada Soni apakah dia bisa mencapai cita-citanya menjadi polisi? Dengan wajah polos dan penuh semangat dia berkata “Ya saya pasti bisa jadi polisi”


En/In a remote village in east Sumba named Merdeka Soleman Kabubu Ratu Anding called Soni, was born. Though Merdeka is one of remote villages in east Sumba, but there are beautiful hills and valleys over there. During the rainy season, the scenery becomes more beautiful so that everyone that passes by is amazed and stunned seeing the beauty of its nature. 

Soni lives with her biological parents. Soni’s father is a farmer and his mother is a housewife. Besides, his mother often helps his husband work in their plantation. As Soni grows up, he also helps his parents clean their plantation. Soni’s family has corn as their staple food. 

When he grows into an adult, Soni aspires to be a policeman. So to make his aspiration come true, Soni begins to study. Now Soni is in the second grade of an elementary school. Though the distance from his home to school is about eight kilometers with difficult terrain, it doesn’t hinder him from pursuing his aspiration.

Every five o’clock in the morning, Soni and his friends begin their trip to school on foot and return home around two or three in the afternoon. 

Because of infrequent lunch, they often endure hunger that strikes them on their way to school. It is caused by the uncertain crops on which most people in Lindeha village pin their hope. 

White cooked rice becomes special food for the kids who go to school in Merdeka village. Often, if they are unlucky, Soni and other kids in the village only have some watered cooked rice that looks like rice porridge to fill their stomach until they return home.

Far distance of 16 km back and forth and steep terrain and poverty make their parents can’t give them ‘proper things’ so that many of them decide to drop out of schools.
 
The existence of Tangan Pengharapan gives hope to children like Soni so that they can study again enthusiastically. We fully understand that school and education are very important for the future of the children in Merdeka village

FLC activities are held three times a week which begins about 2.00 PM through 4 or 5 PM, right after school. Sony is very happy to attend these activities, because besides enjoying nutritious meal, he also gets additional courses that make them cleverer

One day we asked Soni whether he could pursue his goal as a policeman. And with his innocent enthusiastic face he replied, “Of course, I’ll be able to be a policeman.”