Kamis, 05 Juni 2014

Though they are marginalized, they are still Indonesians

http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/


in/Sore itu, ketika sedang menikmati keindahan matahari sore, saya melihat 2 orang gadis kecil berumur sekitar 7 atau 8 tahun yang menenteng 2 kantong plastik. Keduanya tidak memakai alas kaki, sedang berjalan menyusuri pinggiran toko-toko di jalan Mandala, dan mengais-ngais sesuatu di antara tumpukan sampah. Saya bertanya, “Kalian cari apa?” Gadis yang lebih tinggi itu menjawab, ”Mencari kaleng dan botol air minum VIT”. Maklum, di depan toko-toko itu banyak orang lalu lalang dan tak jarang mampir untuk sekedar membeli air mineral atau coke. Itulah sebabnya, sering ada botol dan kaleng-kaleng bekas  yang dibuang di pinggiran jalan itu atau pada beberapa kotak tempat sampah.  Kedua gadis itu, mendapatkan beberapa kaleng dan botol plastik di sana. Salah seorang di antaranya dengan sedikit berlari menyambar sebuah dus bekas yang ada di depan toko berikut dan kemudian dengan cekatan dibuka dan dilipatnya. Keduanya adalah anak asli Papua, belakangan saya tahu namanya Liansu dan Maria. Meskipun masih kecil, mereka sudah menjadi pemulung.

Pikiran dan perasaan saya tidak berhenti pada apa yang Liansu dan teman-temannya kumpulkan, tetapi mula-mula pada kaki mereka yang menyusuri jalanan tanpa alas kaki. Kalau kaki mereka menginjak pecahan kaca, apa yang mereka peroleh sore itu tidak sebanding dengan kerugian / cedera yang mereka alami. Pertanyaan berikutnya yang muncul di benak saya adalah kaleng-kaleng dan botol-botol plastik itu mau dijual ke mana karena hari sudah sore?  Kalau tidak berhasil menjualnya, mereka malam itu makan apa ? 

Ternyata bukan hanya kedua gadis itu yang terpantau. Ketika sudah hampir mendekati pelabuhan Merauke, saya melihat 2 anak laki-laki yang membawa karung plastik sedang memungut gelas-gelas plastik yang dibuang di pinggir jalan.  Beberapa bulan sebelumnya, salah seorang rekan saya malah sempat berfoto bersama mereka. Wajah-wajah mereka menunjukkan bahwa itulah realita kehidupan yang harus mereka jalani setiap hari.  

Entahlah apa yang  berkecamuk di hati mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang tersisih dan terpinggirkan di kampung halaman mereka sendiri sejak masih kanak-kanak. Bahkan Liansu hanyalah seorang anak yatim piatu yang sekarang tinggal bersama saudara jauhnya. Sebagai manusia, Liansu juga ingin makan kenyang dan bergizi, minum minuman yang segar dan bervitamin, bisa sekolah dan bergaul dengan masyarakat luas. Saya yakin, tidak ada seorang pun di dunia ini yang bercita-cita menjadi pemulung, pengemis, buruh kasar di pelabuhan dan sebagainya meskipun apa yang mereka kerjakan adalah halal. 

Saya dan suami berkesempatan melihat langsung pemukiman Liansu dan teman-temannya. Saat itu saya ingat betul, pertama kali kami datang pada pertengahan bulan Maret 2012. Dengan membawa 7 tas plastik besar berisi beras 5 kg, gula, mie instant dan perlengkapan mandi. Saya masih ingat betul ekspresi mereka yang sangat senang menyambut kami. Kami berdoa bersama, menyanyi bersama dan bertukar cerita tentang kehidupan, yang bagi mereka sedikit terasa lebih berat…..

Kaum pria di pemukiman ini umumnya bekerja sebagai buruh kasar di pelabuhan, sedangkan kaum wanitanya bekerja serabutan, kadang sebagai kuli cuci. Mereka harus berangkat pagi-pagi benar dan pulang setelah matahari terbenam, meninggalkan anak-anak mereka sendirian tanpa sedikitpun makanan. Mereka hanya bisa berkumpul dengan keluarga hanya di sore hari usai pulang kerja untuk makan seadanya bersama.

Itulah sebuah potret realita dari kehidupan sebagian anak-anak  asli yang makin hari makin sulit mewujudkan masa depan yang lebih cerah. Untuk hidup hari ini pun, mereka harus kerja keras dan penghasilan mereka juga tidak seberapa. Bagaimana mungkin mereka berpikir tentang sekolah, tentang kesehatan mereka?  Kalau jumlah mereka makin banyak, itu merupakan indikator bahwa ada banyak anak dari masyarakat lokal yang betul-betul miskin - (miskin pendidikan, ketrampilan, pergaulan, jaringan kerja, pelatihan dan sebagainya). Hal tersebut pada gilirannya akan menunjuk pada suatu realita bahwa ada begitu banyak keluarga / warga masyarakat lokal yang tidak berdaya menghadapi badai perubahan dan pembangunan yang terjadi di wilayah mereka. 

Menyalahkan masa lalu, menganggap bahwa masyarakat lokal itu malas dan hanya mau enaknya saja, dan berdebat tentang dana-dana yang besar di wilayah ini, menurut saya tidak akan pernah membawa kemajuan. Yang diperlukan saat ini membangun manusianya, bukan fisiknya.

Tergerak menyaksikan keterpurukan hidup yang dialami anak-anak itu, kami awalnya mengadakan kelompok belajar yang diadakan setiap hari Selasa, Rabu dan Kamis di rumah seorang penduduk lokal bernama ibu Herlina. Beliau sendiri terlibat sebagai pengajar inti. Dan bukan hanya mengajar baca tulis dan berhitung, kami juga memberi mereka makan sekedarnya supaya perut tidak kosong dan bisa berkonsentrasi untuk belajar.  Hal ini sudah berjalan  +  1 tahun.  Bukan tanpa masalah, tetapi Tuhan dengar doa kami melalui pertemuan dengan Pak Yoanes Kristianus dari Yayasan Tangan Pengharapan.  Ini benar-benar membawa harapan besar bagi Liansu dan teman-temannya. Sekarang kalau bertandang ke rumah Liansu, kadang-kadang kita bisa melihat Liansu mengajar anak-anak lain yang jauh lebih kecil untuk mengenal huruf di kolong rumah panggungnya. Menyentuh sekali…. Kami hanya bisa bersyukur melihat semua ini, sekalipun perjalanan hidup masih cukup panjang bagi Liansu dan teman-temannya. Meskipun terpinggirkan, mereka tetap Indonesia.


en/That evening when I was enjoying the beautiful evening sunset, I saw 2 girls aged about 7 or 8 were carrying 2 plastic bags. Barefooted, both of them were walking down the street by the stores in Jalan Mandala, digging for something in piles of garbage. I began to ask them; “What are guys you looking for?” The taller girl said, “We’re looking for cans and VIT mineral drinking water plastic bottles.” Because in front of those stores many people were passing through and some of them would drop by to buy some mineral water or coke and they threw cans and plastic bottles nearby. And the 2 girls could easily find the used stuffs there. One of them ran to grab a piece of used cardboard and folded it quickly. They were both native Papuans. Recently I noticed that they were Liansu and Maria.

I didn’t stop only to think about what Liansu and her peers were collecting, but at first I began to look at their feet with on they walked through the street without any footwear. Should they trample on broken glass, what they managed to collect this evening was not compatible with the wounds they had. The next thought that came across my mind was ‘where are they going to sell all that stuffs when the evening comes? If they fail to sell them, what are they going to eat tonight?’

Actually not only the 2 girls that I noticed. Approaching the port of Merauke, I saw 2 boys were carrying plastic bags, picking up plastic glasses thrown along the side road. Few months before a friend of mine had a chance to take some pictures together with them. Their faces show that is the reality of life they must live each day.

I have no clue what is on their minds. They have been excluded in their own hometown since their childhood. And Liansu is an orphan who lives with her distant relative. As a human, Liansu surely wants to have sufficient food and nutrition, enjoy fresh drink, go to school and associate with the society. I’m quite sure no one in this world wishes to be a scavenger, a beggar, a hard labor working in ports and so on even though what he does is religiously permitted. 

Accompanied by my husband, I visited the residential where Liansu and her peers live. I remember we paid our first visit on March 2012, carrying 7 big plastic bags containing 5 kg of sugar, instant noodles, and toiletries. I still remember quite well of their happy faces welcoming us. We prayed and sang together and shared the stories of life which a little bit harder on them.

Men here generally are hard labors in local port while women here are odd job workers who sometimes act as washerwomen. They must leave early in the morning and return home after sunset, leaving their children at home with no food at all. They can only enjoy their family time in the evening after work to have meal together.

That is the portrait of the real life of some native Papuan children that day by day get more and more difficulties to make their brighter future come true. To live for today, they must work hard and the money they make is insufficient. How come they ever think about going to school, about their health? If they are more in numbers, it indicates that many local children are extremely poor – (poor in knowledge, skill, social interaction, networking, training etc.) In turn it will show a shocking reality that so many local families/societies are unable to face the storm of change and development in their own region.

Blaming the past, thinking that local people are lazy and only want good things without hard work and arguing on big funds in this region, in my opinion, will never make any progress. The only thing needed for this time being is to build their mentality, not their physical body.

Seeing the slumped life these children live, we began to hold a study group on Tuesday, Wednesday and Thursday in Mrs. Herlina’s house, a local resident. Mrs. Herlina herself is a main teacher. Besides reading, writing and math, we also give them meal to make their stomachs full so that they can concentrate on the subject taught and it has been going on for more than a year. It doesn’t mean we have no obstacles. God heard our prayer. We met Ps. Yoanes Kristianus from Yayasan Tangan Pengharapan. It really bring a big new hope for Liansu and her peers. Now when we visit her in her home, we sometimes find Liansu teaching other children the alphabets under her poor stilt home. It is so touching, indeed. Seeing all this, we can only be grateful, although their journey of life is still long way to go. although they are marginalized, they are still Indonesians.