Rabu, 09 April 2014

Street Children Outreach in east Sumba



Pelayanan Untuk Anak Jalanan


http://www.tanganpengharapan.org/donation/ http://www.tanganpengharapan.org/donation/ http://www.tanganpengharapan.org/donation/ http://www.tanganpengharapan.org/donation/ http://www.tanganpengharapan.org/donation/ http://www.tanganpengharapan.org/donation/ http://www.tanganpengharapan.org/donation/ http://www.tanganpengharapan.org/donation/



        in/Siang itu udara  terasa  panas  menyengat. Saat dalam perjalanan menuju pasar, Tangan Pengharapan  berhenti sejenak di sebuah toko untuk membeli keperluan sehari-hari. Tiba-tiba datang seorang anak dengan pakaian lusuh. Dari wajahnya terlihat anak tersebut tampaknya sedang terburu-buru. Barang-barang plastik dekil bawaannya pun ditaruhnya di depan emperan toko dan dijaga oleh beberapa anak lainnya.
Pak, saya beli mie 1 bungkus, katanya kepada penjaga toko sambil memberikan selembar uang dua ribu rupiah.
Melihat tampangnya yang lusuh dan kurus serta pakaiannya yang dekil, Tangan Pengharapan merasa kasihan. Lalu Tangan Pengharapan membelikan 1 bungkus lagi mie untuknya.
Setelah mengucapkan terima kasih, anak itu berlari pulang sambil membawa kantong plastik dekil miliknya yang digunakannya untuk memulung.
Sejak saat itu, Tangan Pengharapan merasa tergugah melihat kehidupan yang dijalani anak-anak itu. Maka Tangan Pengharapan segera mengambil inisiatif untuk mencari tahu tentang anak-anak itu yang semuanya berjumlah enam orang dan semuanya bersaudara. Ternyata anak tersebut bernama Dominggus yang akrab dipanggil Domi. Domi tampak berbeda dari saudara-saudaranya yang lain karena ada semacam tahi lalat besar di alis mata kanannya sehingga hampir menutupi matanya.
Sejak kecil ia sudah mengalami cacat pada mata kirinya yang nyaris membuatnya tidak bisa melihat, tidak seperti anak-anak dari pemulung lainnya yang mempunyai kondisi fisik yang normal.
Sebelum beralih menjadi pemulung, ayahnya sempat berjualan di pasar desa. Namun karena pasar tersebut dibongkar untuk di renovasi, maka ia pun tidak dapat berjualan. Alhasil, barang dagangannya yang ia beli dari orang lain dan dibayar dengan cara mencicil itu pun tidak dapat ia jual. Oleh pemerintah setempat ia diijinkan menempati kios dengan cara menyewa. Tapi karena modal sudah habis, belum lagi hutang yang masih harus dibayar. Maka ia pun beralih profesi menjadi pemulung.
Akibatnya hidup anak-anak mereka pun tidak menentu bahkan banyak yang terpaksa harus putus sekolah karena ketiadaan biaya untuk membeli keperluan sekolah. Penghasilan yang didapat tidak seberapa. Belum lagi jika ada anak-anak atau anggota keluarga yang sakit.
Bertepatan dengan telah berjalannya program Feeding and Learning di Center Tangan Pengharapan Sumba Timur, maka Tangan Pengharapan mengembangkan program yang sudah ada tersebut dengan membuka Feeding and Learning Center untuk para anak jalanan.
Anak-anak jalanan yang dilayani berjumlah lima puluh anak. Jumlah tersebut tidak tetap karena anak-anak tersebut sering datang dengan membawa saudara-saudaranya atau teman-temannya.
Dengan program ini, diharapkan mereka nantinya tidak lagi berkeliaran di jalan, tetapi belajar untuk membangun masa depan yang lebih baik. Robby N

en/It was hot afternoon. On our way to a traditional market, we stopped by a grocery store to buy daily needs. Suddenly a boy with ragged clothes came. We could see he was in a hurry. He put dirty plastics he we carrying in front of the store, and other kids guarded it for him.

“Sir, I need a pack of noodle,” he said, offering a piece of paper money of 2000 rupiah to the cashier.
Staring at his shabby face and his dirty clothes, we had pity on him. We then bought him another pack of noodle.  Thanking, the kid was running home, carrying the shabby plastic he used to scavenge.
Since then, we were moved to see the kind of life those kids live. Then we decided to find out about the six siblings. Evidently, the kid’s name was Dominggus or Domi. Domi looks different from his siblings. On his left eye, there’s a big mole that nearly closes his left eye.
He’s been like this since he was a little kid, which causes him can barely see, unlike the other kid scavengers.
His father used to be a vendor at a traditional market. But because of renovation, he caould not sell his stuffs there, resluting the stuffs he’d bought from other vendor that he had to pay in installment couldn’t be sold. The local government allowed him to seel his stuffs as long as he rented a kiosk. But lack of money caused him to be a scavenger.
His kids’ life became uncertain. Manu of the had to drop out of their school due to lack of finance. The money he made was meager, and the situation got worse when his kids wwere sick.
Coinciding with the establishment of Tangan Pengharapan Feeding and Learning in east Sumba, we expand our program by opening our Feeding and Learning Center for street kids.
We serve 50 street kids. The number is unfixed because they often come with their friends or siblings.
With the implementation of this program, we hope there would be no kids hanging around the streets but studying to build a better future. Robby N