Senin, 27 Oktober 2014

Saya Mau Jadi Pol PP











Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Rumah bukan sekedar bangunan        tetapi sejatinya merupakan hunian yang aman, nyaman dan tenang untuk berlindung, beristirahat, dan bersosialisasi bersama anggota keluarga. Home sweet home—ungkapan tersebut sungguh terasa sangat asing dan jauh berada di dimensi angan-angan yang entah kapan bisa dicapai Lexi Rina “si anak loli” (anak laki-laki) dari Bapak Marthen Nono dan Ibu Tina Ina Louru.


Bentuk rumah adat Sumba atau yang dikenal dengan nama “Rumah Panggung” ini berpintu tanpa jendela, atapnya terbuat dari alang-alang dan berlantaikan papan kayu serta beralaskan tikar anyaman dari pandan. Bentuk rumah panggung tersusun menjadi 3 bagian. Bagian paling dasar adalah tempat ternak, seperti babi, kuda, sapi, kerbau dan lain-lain. Lalu di bagian tengah merupakan bagian inti yang berfungsi sebagai tempat istirahat  terdiri dari dua kamar dan dapur. Papa dan mama Lexi menempati sebuah kamar, sedangkan anak-anak terutama anak laki-laki tidur di balai. Bagian paling atas digunakan sebagai lumbung makanan dan penyimpanan barang-barang berharga yang ditutup dengan papan. Tinggal seatap bersama orangtua, 7 orang saudara kandung beserta ternak-ternak ditambah lagi dengan ketidakadaan kamar wandi/wc dan listrik—dimana dan bagaimanakah sebenarnya rasa nyaman akan sebuah rumah ‘hommy’ itu?


Mendengar penuturan bocah kelahiran Taimu yang sekarang berusia 9 tahun ini tentang keseharian yang dijalaninya di dalam rumah tersebut amat menggugah nurani. Selain waktu istirahat yang terganggu dengan bunyi suara dan bau yang tidak sedap juga rentan terhadap berbagai macam virus, bakteri dan penyakit dari kotoran-kotoran binatang/ternak yang berada tepat di bawah tempat mereka beristirahat dan makan. Selain itu untuk mendapatkan sumber kehidupan utama, yaitu air tidaklah mudah karena Lexi, anak ke 6 dari 8 bersaudara ini harus mengambil air ke sungai, namun bila hujan turun sungaipun menjadi kotor.   

Walaupun menempuh jarak yang jauh, berjalan naik turun gunung menuju sekolah Lexi tetap semangat berkat FLC YTP Weeboro yang memberikan pelatihan, pengajaran dan juga makanan yang bergizi. Keceriaan dan harapan akan masa depan yang cerah pun terpancar dari sorot matanya yang berbinar. Ketika ditanya tentang alasannya memilih cita-cita sebagai PoL PP dengan antusias Lexi menjawab, ”Karena Pol PP bisa menangkap pegawai-pegawai negri yang tidak kerja. Kalau waktunya kerja ya kerja toh”.Sherina



Rabu, 08 Oktober 2014

"Kenapa Bapak Tidak Pulang, Bu?"

http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/


Adat yang berlaku di kepulauan Mentawai tampaknya tidak memberi dampak yang baik bagi kaum wanita. Ketika seorang lelaki melamar seorang perempuan, maka ia harus mengeluarkan kocek yang jumlahnya besar sesuai ketentuan adat untuk membayar tanah, sagu, durian, kelapa, kuali besar, kampak, parang dan juga memberi sejumlah yang tunai sesuai yang diminta pihak perempuan. Akibatnya, wanita sering diperlakukan sebagai pembantu dan harus bekerja di ladang, menjual hasil ladang, atau mancing ikan. Sedangkan si suami hanya di rumah menunggu sang istrei pulang dan membawa rokok untuknya

Ketika terjadi perceraian atau meninggalnya sang suami, maka sang istri harus kembali ke rumah orang tuanya tanpa membawa apa pun selain pakaian di badan. Hak asuh anakpun diberikan kepada pihak keluarga suami.

Kejadian ini  dialami oleh keluarga bapak Antonius dan ibu Anjelina.  Karena persoalan rumah tangga, Antonius pergi meninggalkan istri dan putrinya, Pokensia Meliana, yang pada waktu itu masih berumur 3 tahun dan menikah lagi di desa lain .

Akibat ketidak setiaannya terhadap isterinya, Antonius sering kali menggunakan uang hasil kerjanya untuk berselingkuh. Jatah yang seharusnya diberikan untuk isteri, ia habiskan untuk bersenang-senang dengan wanita lain. Hal itu sudah amat sering dilakukannya. Ia hanya membeli sagu untuk kebutuhan mereka sehari-hari sebagai wujud tanggung jawabnya. Selanjutnya isterinyalah yang harus memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.  Dalam kedaan yang sulit ibu Anjelina harus membesarkan Pokensia dengan kasih sayang.

Dalam usianya yang baru beranjak 3 tahun itu, pertumbuhan Pokensia terbilang cukup lambat. Tubuhnya tampak lebih kecil bila dibandingkan anak-anak seusianya di tempat lain. Perutnya yang buncit itu menandakan dirinya menderita penyakit cacingan. Tidak hanya itu, penyakit kulit dan bisul pun sering hinggap di tubuh kecilnya yang memang sering dialaminya sejak masih bayi.
Menyaksikan keadaan seperti ini, ibunya tidak bisa berbuat banyak.  Akibat tidak pernah mendapat asupan gizi yang cukup, tubuh ibunya semakin kurus karena harus memberikan ASI yang tentunya juga mengandung gizi yang kurang kepada anaknya. Karena tidak adanya asupan gizi untuk ibu yang menyusui itu, maka tidaklah mengherankan jika dirinya dan banyak lagi wanita di Mentawai yang tampak lebih tua dari usia para suami mereka meskipun mereka jarak umur pasangan itu tidak terpaut jauh, bahkan ada beberapa di antaranya yang seusia.

Pada waktu mulai masuk sekolah, Pokensia merasa minder karena semua kawannya memiliki ayah, sedangkan dia hanya miliki ibu. “Bapak kenapa tidak pulang, bu? Memang ke mana bapak?” tanya Pokensia pada ibunya. Ibunya hanya terdiam, tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan Pokensia kecil.

Saat Pokensia duduk di kelas VI Sekolah Dasar, ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki yang berstatus duda di dusun yang sama. Sejenak Pokensia merasa bahagia karena dia punya ayah seperti anak-anak lainnya. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Kehidupan Pokensia mulai terusik karena ayah tirinya tidak menerimanya, sehingga seusai tamat Sekolah Dasar tahun 2008, Pokensia tidak bisa melanjutkan sekolahnya hingga seorang tantenya membawanya untuk bersekolah di SMNP Lentera.

Pada 2011 lalu, Pokensia bergabung dengan sekolah SMP Lentera. Di sini Pokensia dapat kembali membangun cita-citanya untuk hidup lebih baik. Keterlibatan orang-orang yang peduli pada kehidupan anak-anak seperti Pokensia melalui Tangan Pengharapan telah membangkitkan semangat mereka. E. Namakofa

Mama Florence: Terima kasih, saya bisa melihat lagi



Kamis, 02 Oktober 2014

Lihat Kebunku

http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/
http://www.tanganpengharapan.org/sumbangan-untuk-projek-kami/


Siang itu Tangan Pengharapan memutuskan untuk kembali mengunjungi Lukas Liunesi yang menderita kelainan ginjal di rumahnya. Sengaja Tangan Pengharapan tidak memberitahukan lebih dahulu tentang rencana kedatangan ini karena ingin memberikan sedikit kejutan kepada keluarga Liunesi.

“Bapa!” teriak Lukas Liunesi saat melihat Tangan Pengharapan menuruni jalan menuju kebun tempat keluarga Liunesi bekerja.

Sesaat aktivitas berkebun terhenti karena kedatangan Tangan Pengharapan yang tiba-tiba. Namun keceriaanpun bertambah saat Tangan Pengharapan muncul untuk memberi keluarga Liunesi sedikit kejutan dengan kedatangan yang tiba-tiba.

Gelak tawa mewarnai siang itu saat Tangan Pengharapan bercengkrama dengan Lukas di kebun keluarga. Tampak Lukas terus membantu kedua orang tuanya. Tanpa lelah, ia menyirami tanaman di bedeng sayur milik keluarganya dan memanen sayuran yang sudah siap panen. Padahal dulu, untuk berjalan sedikit agak jauh saja Lukas tidak mampu.

Lukas sebelum mendapatkan bantuan pengobatan dari seorang partner Tangan Pengharapan, dinyatakan oleh dokter bahwa ia mengalami kelainan ginjal. Ia hanya bisa mengkonsumsi air dan nasi putih. Jika itu dilanggarnya, maka jari-jarinya akan membengkak dan perutnya membuncit. Wajahnya akan menjadi pucat. Padahal anak sebaya Lukas tentu membutuhkan asupan gizi yang cukup. Namun ironisnya, ia justru tidak boleh menyentuh makanan atau minuman tersebut.

Pernah Lukas dibawa oleh orang tuanya ke RSUD So’E untuk menjalani pengobatan. Tapi karena kekurangan biaya, maka merekapun membawa Lukas pulang dan Lukas berobat jalan. Obatpun kadang dibeli kadang tidak. Apabila ada uang, maka ayahnya akan membelikn obat untuknya, tapi jika tidak, maka Lukaspun tidak dapat berbuat apa-apa.

Kejadian ini berlangsung beberapa lama sampai akhirnya seorang partner Tangan Pengharapan yang karena keprihatinannya melihat kondisi yang dialami Lukas Liunesi. Lukas pun dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan.

Kini beberapa bulan telah berlalu, dan kondisi kesehatan Lukas Liunesi semakin membaik. Tanda-tanda bengkak pada jari- jari tangan dan perutnya yang membuncit kini berangsur hilang. Bahkan Lukas sudah mulai bisa menyantap hidangan yang disajikan di Feeding & Learning Center Tangan Pengharapan.

Dan yang membuat panen kali ini terasa istimewa karena inilah panen pertama di mana Lukas Liunesi bisa ikut terlibat langsung. Dengan sigap Lukas mengumpulkan sayuran yang telah dipetik oleh kedua orang tuanya untuk dikonsumsi sehari-hari dan selebihnya untuk dijual di pasar guna membeli kebutuhan sehari-hari.SonyaSilubun

Link Youtube Ternak Untuk Pendidikan Anak Di NTT