In/Berangkat dengan rasa percaya akan janji-janji manis yang tidak pernah terbukti, 99 penduduk bersama keluarga meninggalkan tanah kelahiran mereka di pulau Jawa dan Nusa Tenggara Timur menuju ke daerah transmigran di Ratahan, Sulawesi Utara. Niat untuk memperbaiki hidup malah berubah seratus delapan puluh derajat. Keterpurukanlah yang justru mereka alami dan rasakan. Semua harapan dan mimpi mereka tergerus oleh kenyataan di depan mata.
Mereka hanya bisa tertegun menyaksikan bidang-bidang tanah tanpa bangunan yang disediakan bagi mereka. Kecewa dan kesal berkecamuk dalam hati. Namun apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur. Rasa ingin pulang kembali ke kampung halaman tidak pernah terwujud karena ketiadaan dana. Akhirnya untuk dapat bertahan hidup, mereka mulai menggarap lahan-lahan yang awalnya mereka kira tidak ada pemiliknya. Dan merekapun harus rela meninggalkan lahan yang telah mereka tanami ketika pemiliknya menyita lahan tersebut.
Mereka hanya mendapat sebuah rumah papan tanpa isi dan tanpa fasilitas apa-apa, termasuk listrik dan air. Janji-janji pemberian fasilitas hanya tinggal berupa janji-janji yang tidak pernah menjadi sebuah kenyataan. Tidak ada lahan untuk bercocok tanam. Hanya pekarangan kecil yang tersisa. Pekarangan kecil yang sama itulah yang menjadi tumpuan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Nasaret, itulah nama salah satu dusun di daerah Ratahan, Sulawesi Utara yang menjadi tujuan para transmigran ini. Mereka terpaksa menggarap lahan kecil yang ada di sekitar rumah mereka untuk ditanami sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak adanya infrastruktur yang memadai membuat desa ini menjadi terisolir.
Oleh sebab itu Yayasan Tangan Harapan hadir untuk membantu masyarakat setempat dengan menyediakan mesin cetak batako dan bibit-bibit pertanian. Saat ini Tangan Pengharapan memulai dengan pergerakan feeding and learning center untuk membantu anak-anak menjadi generasi yang tahu kebenaran dan mau untuk tetap semangat dan giat dalam belajar.
En/Believing and trusting in sweet promises that were never proven, 99 families left their homeland in Java and East Nusa Tenggara and headed to the area in Ratahan, North Sulawesi. Their determination to improve their lives turned upside down. It is deterioration that they actually experience and feel. All their hopes and dreams are eroded by reality in front of their eyes.
They can only be stunned to see the acres of land without any buildings provided for them. Disappointed and annoyed raged inwardly. But they can’t say nothing, all is too late. Their desire to return to their hometown never comes true due to lack of funds. Finally, in order to survive, they begin to work on land that originally they thought has no owner. And they must be willing to leave the land they had planted when the owner of the confiscated land.
They just got an empty house without any facilities, including electricity and water. The promise they would get some facilities remains a promise that never comes true. No land for cultivation. Only a small lawn left. It is the same small lawn that become their hope to meet their daily needs.
Nasaret is the name of one of the hamlets in the area of Ratahan, North Sulawesi, which became the destination of these migrants. They had to cultivate the small around the house, growing vegetables for their daily needs. The absence of adequate infrastructure make this village became isolated.
For that reason Yayasan Tangan Pengharapan exists to help local communities by providing lock brick molding machine and agricultural seeds. Currently Tangan Pengharapan has started with feeding and learning center to help local children become the generation who know the truth and want to remain energetic and active in learning.