in/Rasa ingin tahu guru di Feeding and Learning Center Tangan Pengharapan terjawab sudah. Di siang itu, saat anak-anak datang untuk belajar dan bermain, muncullah Mahesa bersama kakaknya ke Center Tangan Pengharapan. Wajah mereka tampak pucat. Saat ditanya mengapa, mereka menjawab dengan lirih, “ Kami sudah dua hari tidak makan. Mbah hanya punya beras 1 gelas dan beras itu dibuat bubur untuk diberikan kepada adik yang masih bayi.”
Di gubug kecil berukuran 5 x 7 meter itulah Mahesa Pratama,8 tinggal. Bukan hanya dirinya, tapi juga ada 3 keluarga yang menempati rumah kecil pengap dan berlantaikan tanah.
Lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, Mahesa ditinggal ibunya, Menik, yang menikah lagi dengan lelaki lain. Rupanya keempat anak yang dilahirkan Menik memiliki ayah biologis yang berbeda. Dan kini ia tinggal di desa tetangga. Mahesa bersama 3 saudaranya dititipkan pada neneknya, Mbah Win, yang hidup berkekurangan.
Akibatnya, neneknya yang sudah renta harus bekerja sebagai buruh atau di ladang demi menghidupi cucu-cucunya itu. Untuk bisa makan, neneknya yang tua itu bergantung pada permintaan orang untuk mempekerjakannya. Tidak jarang Mahesa bersama ketiga saudaranya hanya makan sekedarnya 1 hari sekali. Bahkan pernah mereka tidak makan dalam beberapa hari lantaran tidak ada orang yang mau mempekerjakan Mbah Win.
Akibat kurangnya asupan gizi, Mahesa yang saat ini menduduki bangku kelas 2 Sekolah Dasar baru bisa mengeja huruf. Ini berkat kesabaran dan ketelatenan guru yang secara khusus memberikan perhatian kepadanya termasuk kepada anak-anak lain yang membutuhkan perhatian lebih.
Itulah sebuah potret realita dari kehidupan sebagian anak-anak yang makin hari makin sulit mewujudkan masa depan yang lebih cerah. Untuk makan saja mereka hanya bisa mengandalkan orang yang sudah tua. Bagaimana mungkin mereka berpikir tentang sekolah, tentang kesehatan mereka?
Mereka itu adalah orang-orang yang tersisih dan terpinggirkan di kampung halaman mereka sendiri. Sebagai manusia, mereka juga ingin makan kenyang dan bergizi, minum minuman yang segar dan bervitamin, bisa sekolah.
Melihat hal ini, Tangan Pengharapan berrencana mengadopsi dan membiayai sekolah mereka hingga SMA. Untuk saat ini Center Tangan Pengharapan di desa Pepe membantu mereka dalam hal gizi dan pendidikan.
en/The teacher’s curiosity at Tangan Pengharapan Feeding & Learning Center was satisfied. That afternoon when other children came to the Center to learn and play, Mahesa and his sister appeared in Tangan Pengharapan Center. Their faces looked pale. Asked why, softly they answered, “We have had no meal for 2 days. Our grandma only has a glass of rice and she makes porridge out of it to feed our baby brother.”
In the 5 x 7 meter poor house Mahesa Pratama, 8 lives. Besides himself, there are 3 other families living in the small airless and floorless house.
Born out of illegal wedlock, his mother left him and remarried to another man. It seemed all her four children have different biological fathers. Now his mother lives in a neighboring village. Mahesa and three his siblings are entrusted to live with their poor grandmother, Win.
As a result, his old grandmother has to work as a labor or in fields to support her grandchildren. To have something to eat, his grandmother depends on people to hire her. It is quite often that they have once meal in a day. Yet, they even do not have any meal for several days because nobody hires their grandmother to work.
Lack of nutrition, Mahesa, a 2 grader of elementary, can only spell letters. Thanks to the Center teacher’s patience and integrity who gives special attention to him and other kids who need more attention.
It is a portrait of some children who day by day are having difficulties in realizing a brighter future. They can only depend on elderlies for meal. How can they think about going to school, about their health?
They are excluded and marginalized in their own hometown. As human beings, they certainly want to enjoy nutritious meal, fresh and vitamin contained drinks, and to be able to go to school.