Opelina, 11, adalah seorang anak di pedalaman Papua. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak ia masih berumur 4 Tahun. Hampir setahun dia diurus oleh kakak tertua yang berusaha menafkahi enam bersaudara yatim piatu ini. Opelina ditemukan salah seorang guru tim Pesat di Pogapa dan Opelina pun dibawa untuk tinggal bersama anak-anak lainnya diasrama TK Pogapa. Kemudian Opelina selanjutnya turun ke YTP Nabire untuk melanjutkan sekolah SD.
Awan seolah-olah tidak mau beranjak dari Papua siang itu. Pak Kalvin salah seorang guru dari tim Pesat yang berada di pedalaman Pogapa berjalan menyusuri kampung Engganengga. Ia tidak pernah menyangka sama sekali akan melewati sebuah honai dan melihat ada enam orang anak di dalam rumah sedang dengan lahapnya makan ubi dan daun singkong dalam honai sempit berukuran 2 x 2 meter tanpa ventilasi udara dan pengap.
“Kamu makan sendiri saja. Memang orang tua kamu di mana?” Tanya pak Kalvin. Keenam anak itu hanya dudk terdiam, menunduk. Lalu salah seorang dari anak-anak itu berkata, “Kami sudah tidak punya orangtua lagi. Bapa dan Ibu sudah dipanggil pulang ke surga oleh sang Pencipta. Bapa meninggal karena sakit malaria tropika+4 yang sudah lama diderita, sedangkan di kampung ini tidak ada satupun puskesmas untuk berobat.” Ketika ayahnya, Filemon Bagau terserang sakit, beliau tidak sempat dibawa ke rumah sakit untuk berobat. Sedangkan ibunya, Maria Miagoni meninggal karena sakit malaria juga waktu berkunjung ke Timika untuk berobat.
Keluarga ini tinggal dalam honai yang sama sekali tidak layak untuk tempat tinggal. Di honai yang mereka tempati ini terdapat ruang tidur, dapur, dan WC yang menjadi satu dalam satu ruangan. Tidak adanya ventilasi juga membuat sirkulasi udara tidak berjalan baik sehingga pernapasan mereka menjadi terganggu. Akibatnya mereka sering terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Ubi dan singkong yang mereka makan itu merupakan hasil pemberian dari tetangga yang ada di sekitar mereka, karena saudara mereka tinggal di kampung sebelah yang sangat jauh letaknya. Kakaknya yang tertua, Yuli, juga berusaha untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga yang banyak ini. Tapi apa daya, dia sendiri tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan mereka berenam. Melihat keadaan seperti itu, singkat cerita, akhirnya pak Kalvin membawa si bungsu Opelina untuk tinggal di asrama Pogapa dan sekolah TK di sana.
Mau tidak mau, keadaan akhirnya membuat mereka berenam terpisah tempat tinggalnya. Opelina yang dibawa oleh pak Kalvin tinggal di asrama Pogapa, sekarang sudah berada bersama Yayasan Tangan Pengharapan Nabire dan tinggal di asrama Gilgal Pesat. Kakak tertua Opelina, Yuli sudah menikah dan tinggal bersama keluarganya yang baru. Sedangkan saudara-saudaranya yang lain tinggal di kota-kota yang berlainan. Ada yang tinggal di Timika, di Jayapura dan di Nabire.
Andaikan saja Opelina tidak bertemu dengan guru dari PESAT tersebut, mungkin nasib Opelina tidak akan jauh berbeda dengan yang dialami kedua orang tuanya yang sudah mendahuluinya. Mungkin juga hidupnya tidak akan menjadi lebih baik.
Sekarang Opelina yang sudah duduk di kelas IV Sekolah Dasar ini terlihat ceria dalam mengikuti pelajaran demi pelajaran di sekolah. Keinginannya untuk menjadi guru dapat terwujud jika ada orang-orang yang bersedia memberikannya dukungan baik doa maupun materil. Mari kita investasikan apa yang menjadi hak dan bagian dari Opelina demi masa depannya yang lebih cerah.WensiPongkorung