Apa yang kita lakukan ketika kita dihadapkan dalam situasi yang sulit, yang tidak kita mengerti bahkan dirasa tidak adil? Bagaimana harusnya kita bersyukur? Sepertinya kita perlu belajar dari seorang remaja bernama Heka Meobesi.
Tumbuh tanpa sosok keluarga yang utuh tidak membuatnya berputus asa. Sedari usia 2 bulan Heka telah kehilangan sosok ayahnya, Lasi Meobesi dikarenakan penyakit TBC yang tidak dapat diobati. Lalu sang ibu, Taroci Neolaka menikah lagi dan menyerahkan hak pengasuhan atas anak bungsunya kepada kakek dan neneknya sementara kedua kakak laki-lakinya, Lasi dan Marten berada dalam pengasuhan sang ibu dan ayah tiri.
Sebagai anak bungsu dan anak perempuan satu-satunya seharusnya Heka-lah yang mendapatkan perhatian khusus dan dalam pengasuhan ibu kandungnya tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Terlepas dari masalah tersebut Heka tumbuh dalam pengasuhan kakek dan nenek yang sangat menyayanginya yang membuat gadis kelahiran Boti, NTT, 5 Juli 1998 itu tetap berbahagia.
Tetapi tak lama berselang ketika Heka berusia lima tahun sekali lagi ia harus menerima kenyataan pahit ketika neneknya pun dipanggil Yang Maha Kuasa. Tentu saja kehilangan orang yang dikasihinya yang selama ini telah merawat dan membesarkannya bukanlah hal yang mudah diterima maupun dicerna pada usia dininya. Begitu juga dengan sang kakek yang hancur hati tapi juga harus bertahan karena ada si kecil Heka yang membutuhkannya.
Tahun-tahun pun berlalu hingga akhirnya sekarang Heka menginjak bangku kelas dua SMP. Heka yang bertambah besar tumbuh menjadi anak yang manis dan berbakti pada kakek yang selama ini telah bersusah payah membesarkannya. Ia pun pintar dalam membagi waktu antara sekolah dan mengurus kakek. Di mulai dari jam 4 subuh, Heka bangun dan masak untuk dirinya dan kakek, lalu setelah selesai ia pun bergegas ke sekolah. Siangnya Heka mengikuti les Bahasa Inggris selama dua jam dari pukul 14.00 hingga 16.00. Heka sangat menikmati waktu bersekolah dan ia mengikuti dan menerima setiap pelajaran dengan serius. Ia termasuk anak terpintar di sekolahnya.
Ketika seseorang berbincang dan bertanya pada Heka tentang cita-citanya, sang kakek langsung berkata: “Aduh, jangan tanya cita-cita karena saya tidak mampu untuk menyekolahkan Heka di SMA. Saya sudah sangat tua dan tidak sanggup mencari uang untuk Heka sekolah. Kalau Heka tamat SMP, itu sudah cukup, yang penting Heka sudah bisa membaca dan menghitung. Saya ingin Heka bisa melanjutkan pendidikan dan meraih cita-citanya tetapi saya tidak sanggup lagi”. Mendengar hal itu air mata Heka jatuh tak terbendung. Latar belakang kehidupan yang di alaminya membuat Heka tumbuh menjadi sosok pendiam sehingga ia pun tak pernah menceritakan keinginan hatinya pada kakek. Di samping itu ia juga mengerti akan keadaan kakek yang sudah tua yang tidak bisa lagi bekerja untuk membayar biaya sekolahnya. Tetapi dalam diam dan tangisnya ia tetap berdoa dan percaya bahwa suatu hari cita-citanya sebagai seorang guru akan tercapai sehingga ia pun bisa membalas kebaikan kakek. Dengan sisa waktu yang tinggal satu tahun lagi untuk menuju jenjang SMA, dengan giatnya setiap hari-hari kosong tak sekalipun di sia-siakan dan ia selalu mengisi hari-hari itu dengan kegiatan menenun.
Menenun, hanya itulah bekal ilmu yang di tinggalkan oleh sang nenek. Hasil tenunan tersebut pun lalu dijual. Diam bukan berarti menyerah dan pasrah tapi tetap menjaga agar impian itu terus menyala dalam dirinya. Terlalu banyak yang telah hilang dalam hidupnya sehingga ia tak rela untuk kehilangan cita-citanya demi masa depannya dan satu-satunya orang yang ia miliki, yaitu sang kakek.
Live a Better Life